Merawat Bhinneka, Menjaga Indonesia
Assalamu’alaikum WR WB, Selamat malam dan salam sejahtera untuk kita semua.
Yang terhormat Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Bapak Jenderal (Purn) TNI Wiranto.
Yang saya hormati:
- Menteri Perhubungan, Bapak Ir. Budi Karya Sumadi.
- Bapak Dar Edi Yoga, Pemimpin Perusahaan Rakyat Merdeka On Line (RMOL)
- Bapak Teguh Santosa, Pemimpin Umum RMOL
- Bapak Aldi Gultom, Pemimpin Redaksi RMOL
Bapak, Ibu, serta para hadirin sekalian yang berbahagia.
Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan YMK, karena atas perkenan-Nya kita semua dipertemukan dalam acara Malam Budaya Manusia Bintang RMOL, yang insya Allah penuh berkah dan kemuliaan.
Pertama-tama, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar?besarnya kepada RMOL yang secara khusus mengundang saya untuk menyampaikan orasi kebudayaan dengan sebuah tema besar: “Merawat Bhinneka, Menjaga Indonesia”.
Tema tersebut sangat relevan dengan apa yang dihadapi oleh bangsa kita akhir-akhir ini, sehingga mudah-mudahan apa yang didiskusikan malam hari ini dapat menjadi bahan kontemplasi bagi kita semua, bukan hanya kita yang ada di ruangan ini, tapi juga masyarakat Indonesia lainnya.
Izinkan saya mengutip sebuah kalimat bijak dari Mahatma Gandhi tentang keberagaman: “Our ability to reach unity in diversity will be the beauty and the test of our civilization”.
Kalimat itu dapat dimaknai bahwa sesungguhnya kemampuan kita untuk dapat bersatu dalam perbedaan dan kemajemukan akan menentukan seberapa tinggi peradaban bangsa Indonesia, hari ini dan selamanya.
Bangsa Indonesia ditakdirkan sebagai bangsa besar yang sangat majemuk. Sulit mencari bandingannya: 17 ribu lebih pulau, terbagi ke dalam tiga zona waktu, tergelar dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote, di mana dihuni oleh 250 juta jiwa dengan beragam latar belakang suku, etnis, agama dan budaya. Itu semua tentu melahirkan kemajemukan dalam perspektif atau cara pandang dan keyakinan atau belief.
Seperti dua sisi mata pedang: di satu sisi, kebhinnekaan secara natural akan menjadi sumber komplikasi dan persoalan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; di sisi lain, jika kebhinnekaan tersebut dapat dirawat dan dikelola dengan baik, maka ia akan menjadi sumber kekuatan yang dahsyat.
Oleh karena itu, kita jangan habiskan waktu dan energi untuk membicarakan perbedaan dan keberagamaan yang ada ditengah-tengah kita. Tidak akan ada habisnya. Mari kita embrace, kita syukuri, segala perbedaan itu, karena perbedaan akan abadi selamanya.
Yang perlu kita lakukan adalah bagaimana menciptakan ruang dan suasana kehidupan berbangsa yang harmonis di mana setiap individu memiliki empati, toleransi dan penghormatan terhadap sesama. Habiskan waktu dan energi kita untuk mengeksplorasi dan mengolah berbagai kesamaan tujuan dan cita-cita besar untuk negeri ini.
Inilah semangat dari Pancasila.
Inilah semangat dari Bhinneka Tunggal Ika. Kita harus bersatu dalam keberagaman. Dulu bangsa kita bersatu karena punya musuh bersama atau common enemy. Hari ini kita harus perkokoh persatuan itu karena kita memiliki berbagai kepentingan bersama atau common interests yang harus kita bela dan wujudkan. Apa itu?
Yang jelas kita ingin memenangkan kompetisi global di abad 21. Bahkan, cita-cita besar kita adalah Indonesia emas di tahun 2045, satu abad sejak kemerdekaannya, di mana di tahun tersebut Indonesia menjadi negara yang benar-benar aman dan damai, adil dan sejahtera, serta maju dan mendunia.
Semua itu sulit dan bahkan tidak mungkin dapat dicapai jika bangsa Indonesia tidak bersatu dan terpecah belah.
Dengan persatuan yang kokoh, insya Allah kita dapat menghadapi berbagai tantangan abad 21, dari mulai kelangkaan sumber daya alam pendukung kehidupan manusia, sampai dengan persaingan antar bangsa yang semakin sengit akibat pertumbuhan jumlah populasi dunia.
Dengan persatuan, kita akan mampu mengubah segala tantangan tersebut menjadi peluang-peluang untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat.
Selain itu, persatuan sejatinya akan melahirkan perasaan aman, adil, dan tenteram bagi setiap warga negara. Ini akan menciptakan stabilitas dan suasana yang kondusif bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan maju bersama. Disadari atau tidak, kita seringkali menganggap bahwa persatuan dalam keberagaman akan selamanya dimiliki bangsa Indonesia.
Kita juga jarang mengapresiasi apa yang telah dilakukan dan diperjuangkan oleh para pendahulu kita bagi terciptanya persatuan bangsa. Seperti halnya kita jarang mengapresiasi udara bersih yang kita hirup untuk dapat bernapas dan hidup.
We take the oxygen we breathe for granted! Barulah ketika kita kehilangan oksigen itu, kita akan berteriak-teriak minta pertolongan.
Para hadirin yang saya hormati,
Kebhinnekaan harus kita rawat dengan baik, dan persatuan bangsa ini harus terus kita perjuangkan.
Kita tidak boleh lelah untuk terus merawat dan memperjuangkan apa yang telah dicapai bangsa kita sejak kemerdekaannya. Terlalu mahal biaya yang harus dibayar bangsa ini jika di tengah-tengah perjalanan sejarahnya, Indonesia mengalami keretakan dan perpecahan akibat sejumlah isu yang tidak dapat dikelola dengan baik dan bijak.
Akhir-akhir ini bangsa kita menghadapi ujian demokrasi dan kebangsaan yang harus kita sikapi secara serius. Hanya karena sebuah perhelatan politik di ibukota, sebuah kontestasi pemilihan gubernur, kemudian seolah-olah bangsa kita terpecah, terbagi ke dalam dua kutub yang saling berhadap?hadapan: Pro-Bhinneka versus Pro-Islam.
Sungguh menyedihkan, ketika dengan mudahnya seseorang atau suatu kelompok dilabelkan Pro-Bhinneka hanya karena memasang spanduk dengan slogan “Aku Pancasila, Aku NKRI, Aku Merah Putih, Aku Bhinneka”, dan mereka dianggap tidak Islami. Sebaliknya, seseorang atau suatu kelompok dicap sebagai Anti Pancasila atau Anti Kebhinnekaan karena turun ke jalan, bersuara lantang untuk mencari keadilan di negerinya sendiri. Seharusnya tidak perlu dibentur-benturkan antara Pancasila dengan Islam. Saya meyakini bahwa Islam, dan juga agama-agama lainnya di Indonesia, sesungguhnya kompatibel dengan Pancasila, kompatibel dengan demokrasi.
Sebagai salah satu kandidat tentu saya merasakan betul kerasnya alam kompetisi Pilkada DKI Jakarta tersebut. Dan saya telah menitipkan pesan kepada pemimpin baru Jakarta untuk dapat mengambil langkah-langkah terbaik demi terjadinya rekonsiliasi.
Ada yang berpendapat bahwa dalam politik, dalam meraih kekuasaan, semua hal diperbolehkan. Hanya satu yang tidak boleh, yaitu: kalah. Menurut saya pendapat seperti ini sangat berbahaya, apalagi kalau kemudian menjadi norma baru dalam kehidupan demokrasi dan perpolitikan di negeri ini ke depan.
Saya masih meyakini bahwa sekeras-kerasnya dunia politik, kita masih bisa memilih untuk menggunakan cara-cara yang baik, yang menjunjung tinggi hukum, etika, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Kehancuran demokrasi kita akan berawal dari mentalitas: “bahwa untuk menang, semua cara dihalalkan”. Sekali lagi ini berbahaya, karena mentalitas seperti itu akan sangat mudah melukai tujuan utama kita melakukan demokrasi, yaitumelahirkan berbagai pemikiran dan gagasan terbaik untuk negeri ini, sekaligus memilih dan menghadirkan pemimpin terbaik yang diyakini dapat merealisasikannya.
Tentu tidak hanya terjadi di Jakarta saja, di berbagai wilayah tanah air kita juga sering menyimak praktik-praktik yang jauh dari nilai-nilai demokrasi Pancasila, bahkan berpotensi merusak persatuan bangsa. Yang paling menonjol adalah praktik menebar fitnah, berita bohong (hoax), dan black campaign dengan tujuan untuk membunuh karakter lawan politik. Dengan bermodalkan media sosial, istilahnya hanya modal jempol, seseorang atau suatu kelompok bisa “dihabisi” reputasinya dan “dihancurkan” martabatnya. Bukankah sejak kecil kita diajarkan bahwa fitnah lebih kejam dari membunuh?
Kita tentu bersyukur bahwa pasca reformasi 1998, bangsa kita hidup dalam sebuah alam kebebasan, kebebasan dalam berpendapat, berkumpul dan berkelompok. Namun, kebebasan tersebut haruslah kebebasan yang bertanggung jawab, kebebasan yang beradab, kebebasan yang menggunakan hati nurani dan akal sehat. Bebas bukan berarti bablas, tanpa batas.
Freedom should not be expressed at the expense of the freedom of others. Menyebar hoax bukanlah kebebasan berpendapat. Kemudian, “Hate Speech is Not Free Speech”. Bagi yang pernah menjadi korban fitnah atau hoax pasti bisa merasakannya.
Itu memang konsekuensi dan realitas dari kehidupan demokrasi Indonesia saat ini. Siapapun yang memutuskan untuk masuk ke dalam gelanggang politik harus memiliki keberanian untuk menghadapi semua realitas tadi.
Tapi apakah kehidupan politik dan demokrasi semacam ini yang ingin kita tuju? Tentu tidak. Tidak ada satupun model demokrasi di dunia ini yang sempurna. Tapi hampir pasti jika demokrasi dijalankan dengan benar, maka demokrasi merupakan pilihan terbaik di antara sistem-sistem lainnya.
Oleh karena itu, saya mengajak diri sendiri dan kita semuanya untuk terus mengawal demokrasi kita yang tengah dan terus berproses sehingga menjadi semakin baik di masa depan.
Perjalanan demokrasi bangsa bukan hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah, tapi merupakan tanggung jawab semua: para politisi, akademisi, aktivis, pebisnis, penegak hukum, serta berbagai elemen bangsa lainnya, termasuk insan pers.
Kita semua tentu berharap bahwa teman-teman di media, khususnya RMOL dapat terus menjadi penyuguh informasi yang baik dan mencerdaskan. Melalui pemberitaan yang fair and balance, masyarakat dapat memahami situasi yang sebenarnya, sehingga mereka tidak terjebak dalam kebingungan untuk menyimpulkan: mana berita yang faktual dan akurat, dan mana yang “abal-abal” alias berita bohong dan menyesatkan.
Awalnya media sosial digunakan secara meluas dalam politik dalam rangka mengimbangi pemberitaan di media massa yang tidak selalu objektif dan berimbang. Namun semakin ke sini, media sosial semakin sulit untuk dibendung sehingga secara alami menjadi medan propaganda tanpa batas. Oleh karena itu, sekali lagi kita semua berharap bahwa media massa, baik cetak, elektronik, maupun digital mampu menjaga kredibilitasnya demi semakin matangnya demokrasi di tanah air, dan semakin beradabnya dunia perpolitikan di Indonesia.
Akhirnya, mari kita terus jaga harmoni dalam kebhinnekaan. Sebetulnya caranya cukup sederhana. Awali segala sesuatunya dari diri sendiri. Pegang teguh “the Golden Rule”, yaitu jika kita ingin dihargai, dihormati, dan diperlakukan baik oleh orang lain, maka kita juga harus menghargai, menghormati, memperlakukan orang lain dengan baik, siapapun dia, apapun latar belakangnya. Dalam menjaga harmoni kita juga perlu membangun komunikasi yang baik dan rasa saling percaya satu sama lain.
Waktu kecil kita selalu diingatkan untuk setiap saat menggunakan “the magic words” secara tulus, khususnya: Thank You, and Sorry”. Artinya, ucapkan terima kasih jika ada yang membantu kita, termasuk ucapkan terima kasih ketika ada yang menghormati perbedaan yang kita miliki. Dan ucapkan permohonan maaf ketika kita melakukan kesalahan baik yang disengaja maupun tidak. Sangat sederhana, tapi seringkali sesuatu yang sederhana tapi dilakukan dengan tulus dan sungguh-sungguh, justru akan membangun harmoni dan persatuan yang indah.
Di tingkat yang lebih luas, mari kita dukung apa yang dilakukan pemerintah maupun pihak-pihak lainnya yang berupaya untuk melakukan dan memfasilitasi berbagai format dialog antar perbedaan identitas dan keyakinan. Semua itu dilakukan dalam rangka merawat kebhinnekaan, serta menjaga integritas NKRI dan persatuan seluruh rakyat Indonesia.
Demikian yang dapat saya sampaikan pada kesempatan ini. Terima kasih atas segala perhatian dari para hadirin sekalian. Saya mohon maaf apabila ada kata-kata yang kurang berkenan di hati Bapak dan Ibu. Mudah-mudahan ke depan kita dapat terus menyambung silaturahmi ini.
Terima kasih RMOL, semoga semakin sukses di masa depan.
Terima kasih.
Wassalamualaikum WR WB.
(cerobongasap/dik)