Oleh: Muhammad Husni Thamrin*)
NKRI dan persoalan kebangsaan mendadak ramai menjadi obrolan diskusi dan bahkan twitwar di media sosial, hanya karena soal seorang bernama Ahok. Kekalahan dan hukuman yang dijatuhkan pengadilan kepada Ahok dianggap diskriminasi terhadap minoritas, yang mengancam kebhinnekaan dan kebangsaan. Mengancam NKRI.
Baru kali pertama ini saya kira, sepanjang pemilihan langsung kepala daerah isu keretakan NKRI dikaitkan dengan kekalahan salah satu kandidat.
Anehnya tak ada suara dari kelompok yang sama, yang membela Ahok dengan logika kebhinnekaan dan NKRI, saat seorang gubernur dari wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Islam; seorang ulama dan pemimpin organisasi keagamaan di NTB, dimaki seorang warga keturunan Tionghoa di Bandara Changi Singapura sebagai “Tiko” (tikus kotor). Makian penghinaan yang biasa ditujukan warga keturunan kepada orang yang mereka hina. Tak ada yang mempersoalkan kebhinnekaan terhadap kasus itu. Bahkan kelompok pendukung Ahok masih mengatakan kasus tersebut hanya rekayasa.
Seandainya tidak ada ucapan Ahok terkait dengan Al Maidah ayat 51 di Kepulauan Seribu, namun Ahok tetap kalah pada pilkada DKI Jakarta lalu akankah tetap dikaitkan dengan diskriminasi terhadap minoritas?
Rentetan aksi nyala lilin, salah satunya dilakukan di Manado, bahkan disertai spanduk dan tuntutan “Minahasa Merdeka”, hanya karena kekalahan seorang Ahok. Bayangkan jika ada satu calon beragama Islam di Nusatenggara Timur, lalu kalah dan dianggap kalah karena ada diskriminasi terhadap Islam yang minoritas di NTT, dengan logika sama, mungkinkah ada pawai obor menuntut kembali Aceh Merdeka di Banda Aceh?
Ahok tak lebih dari seorang kandidat dalam Pilkada DKI Jakarta lalu kalah pada putaran kedua. Itu saja. Tak ada kaitannya dengan soal NKRI maupun diskriminasi atas minoritas. Bahkan kini KPK-RI sedang menyiapkan proses penyelidikan atas dana yang mengalir ke relawan Kawan Ahok, yang diduga bersumber dari para pengembang proyek reklamasi di pantai Jakarta.
Kata-kata tentang NKRI, kebhinnekaan, atau kebangsaan tiba tiba muncul dalam diskursus pemilihan kepala daerah. Pancasila kembali dibicarakan sebagai satu-satunya falsafah kebangsaan yang mampu mengikat berbagai keberagaman yang ada di Indonesia.
Secara kebetulan pasca-kekalahan Ahok, secara tiba tiba pemerintah, melalui Menkopolhukham, menyatakan pelarangan terhadap Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), tanpa melalui putusan peradilan. Alasannya HTI merupakan organisasi yang ingin menerapkan sistem khilafah di Indonesia dan mengancam NKRI.
Kelompok pendukung Ahok menjadikan pelarangan tersebut sebagai senjata baru untuk menunjukkan dukungan kelompok-kelompok garis keras Islam yang anti Pancasila dan NKRI, yang diberikan pada paslon pilkada DKI Jakarta yang mengalahkan Ahok.
Klaim kelompok kebhinnekaan dan NKRI versus Islam radikal atau garis keras menjadi senjata baru pembenaran terhadap sikap denial kelompok Ahok atas kekalahan calon mereka. Perbedaan semakin diperuncing dengan berbagai aksi dukungan dan menyalakan lilin di berbagai daerah selain Jakarta, sebagai simbol kebhinnekaan dan pluralisme.
Makna bhinneka tunggal ika, kebangsaan atau NKRI dimaknakan sempit dengan indikasi mendukung Ahok atau tidak. Soal kekalahan dalam pilkada pun menjadi kabur.
Pada putaran pertama Pilkada DKI Jakarta, Paslon Nomor 1, Agus Harimurti Yudhoyono sudah mengingatkan pentingnya menjaga keberagaman, persaudaraan dan mencegah konflik berkepanjangan hanya karena sebuah hasil pilkada. Pada berbagai kesempatan kampanye AHY menekankan pentingnya melakukan “Rekonsiliasi” pasca-pilkada, sehingga konflik dan dendam yang muncul selama kampanye dapat hilang. Inisiatif harus dilakukan oleh pemenang pilkada.
Hingga kini tampaknya belum ada inisiatif itu dari kubu Anies-Sandi yang terpilih sebagai Gubenur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta 2017-2022.
Rekonsiliasi dan dialog tentang makna kebangsaan harus dilakukan, dengan melibatkan berbagai elemen dalam masyarakat, untuk mendudukkan kembali makna Pancasila, makna kebangsaan, makna pluralisme dan kebhinnekaan yang dimiliki oleh Indonesia.
Pembiaran terhadap konflik dan pemaknaan berbeda terhadap Pancasila, kebhinnekaan dan makna kebangsaan, dikhawatirkan merembet pada pilkada-pilkada lain yang akan berlangsung di tahun 2018.
Pancasila dan kebhinnekaan tidak boleh hanya menjadi sekadar jargon politik yang dipakai membedakan antara satu kubu dengan kubu lain dalam pilkada. Maknanya akan menjadi sempit dan kehilangan fungsinya sebagai pengikat bangsa.
Jakarta 30 Mei 2017
*)Sekretaris Divisi Hubungan Luar Negeri DPP Partai Demokrat