Oleh: Haidar Majid *)
Besok, 19 April 2017, Jakarta kembali memilih untuk putaran kedua Pilkada. Bila melihat tensinya, mungkin Pilkada inilah yang paling melelahkan, menguras banyak energi, bukan saja lokal Jakarta, tetapi juga seluruh pelosok negeri.
Apa sebab?
Hampir tiap hari kita disuguhi berbagai dinamika yang terjadi disana melalui media mainstream atau juga media sosial. Tiada yang tersisa, mulai dari kampanye konvensional, debat program sampai pada titik yang memilukan, kampanye hitam, juga bagi-bagi sembako secara terbuka.
Suka atau tidak suka, kita yang tidak bermukim disana atau yang tak punya hak pilih, juga ikut bereaksi, setidaknya berpendapat, atau setidaknya ikut berkomentar atau paling minim, ikut mengelus bathin, melihat fenomena yang terjadi disana. Inikah yang disebut Pilkada? Harus begitukah cara untuk menang? Dimana etika berdemokrasi? Dimana semangat saling menghargai? Kemana jati diri kebersamaan?
Kalau selama ini sering kita mendengar kalimat “serangan fajar”, dimana kalimat ini menjelaskan fenomena pembagian sesuatu yang dilakukan saat fajar menjelang, dimana untuk membuktikan kebenaran kalimat ini susah mencari parameternya, maka Pilkada Jakarta merubah fenomena ini secara vulgar, tak ada lagi serangan fajar, yang ada serangan siang bolong, serangan terang benderang.
Bedanya jelas, “serangan fajar” bisa jadi tak lebih sekedar kabar burung, sulit membuktikannya. Sedangkan “serangan siang bolong”, tak perlu cari pembuktian, kejadiannya jelas terlihat, ada di depan mata, juga ada di layar-layar gagdet.
Saya sendiri belum faham persis, apakah pembagian sembako atau dagang sembako murah ini menjadi bagian dari ‘strategi’ atau semacam ‘test the water’ atau upaya ‘jujur’, daripada sembunyi-sembunyi, atau mungkin “kalap”, khawatir jeblok di sisa hitung jam ini. Entahlah, hanya mereka yang tahu.
Atau jangan-jangan telah hadir sebuah ‘teori’ baru yang diproklamirkan, “elektabilitas ditentukan isitas”, sebuah teori yang selama ini terdengar hanya lewat bisik-bisik, yang kalau toh terdengar nyaring, tak lebih sekedar canda-candaan, tapi sekarang menjadi kalimat “serius”, malah “amat sangat serius”.
Atau jangan-jangan sudah ada pemikiran, ah kalau toh bagi sembako ini disoal, tidak menimbulkan efek apa-apa.
Jika telah seperti itu adanya, jelas ini menjadi ‘tanda’ mengerikan. Pilkada langsung yang sedianya menjadi wadah bagi rakyat untuk bertindak rasional dan obyektif dalam menentukan pilihan, berubah seratus delapan puluh derajat menjadi pilihan ditentukan oleh “apa dan berapa isitasnya”. Ngeri, mengerikan !
Harapan untuk melahirkan dan menghadirkan pemimpin yang diterima dan dipilih oleh rakyatnya atas dasar “suka”, “wajar”, “pantas”, serta merta menjadi “apa boleh buat”, “mau tidak mau”, “emang gue pikirin”.
Kita di Sulawesi Selatan, tak lama lagi akan menggelar Pilkada untuk Gubernur dan Wakil Gubernur, juga untuk Walikota dan Wakil Walikota, juga untuk Bupati dan Wakil Bupati di dua belas kabupaten/kota. Apa yang terjadi di Jakarta, yang mempertontonkan politik dagang sembako, semoga tidak terjadi di kampung yang kita cintai ini.
Maju sebagai calon kepala daerah adalah pilihan mulia dan panggilan tanggung jawab untuk membangun dan membesarkan daerah. Jangan nodai panggilan mulia itu dengan cara-cara yang tidak bermartabat, mengesampingkan etika politik, serta terkesan “mau sekali mi terpilih”.
Makassar, 18 April 2017
Salam #akumemilihsetia
*)Anggota DPRD Fraksi Demokrat Provinsi Sulawesi Selatan