Ada yang menarik dari hasil survey lembaga konsultan politik yang diumumkan pekan lalu, meski unggul jauh dari pesaing terdekatnya, namun elektabilitas Presiden Jokowi jika kembali bertarung di Pilpres 2019 mendatang cenderung stagnan dan bahkan sedikit mengalami penurunan. Sayangnya, dalam laporan kepada media, lembaga survey itu tidak menyebutkan penyebab tidak bergeraknya angka elektabilitas tersebut.
Lazimnya sebuah hasil survey dan jajak pendapat, tentu akan ada perubahan yang disebabkan dinamika politik dan sosial serta pengaruh media. Namun sayang, apa yang saya harapkan dari sebuah survey tidak dikemukakan. Entah apa sebabnya.
Elektabilitas bagi seorang tokoh apalagi calon presiden memang menjadi angka yang selalu ditunggu dan dijaga. Tak terkecuali Presiden Joko Widodo dan pesaing dekatnya Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Naik atau turunnya angka elektabilitas ini tentu implikasi dari banyak hal. Bisa karena ketokohan maupun pola pencitraan yang selama ini dilakukan.
Ada beberapa hal yang menurut saya menyebabkan elektabilitas Presiden Jokowi masih berada jauh diatas Prabowo Subianto. Pertama karena belum adanya nama lain sebagai Capres yang mampu melebihi ketokohan Prabowo sebagai lawan Jokowi. Sehingga ketika pilihan lawan Jokowi adalah Prabowo, maka jelas ia akan menang. Faktor lain adalah pola kampanye di kalangan bawah yang lebih menyukai Jokowi dibanding Prabowo.
Hasil survey ILUNI UI yang menempatkan Jokowi dalam ancaman nama Agus Harimurti Yudhoyono juga harus difahami bahwa dilevel menengah ke atas Jokowi memang relatif kehilangan pendukungnya. Jokowi memang dibuntuti oleh munculnya nama AHY sebagai “The Rissing Star”. Akan tetapi, seperti dituliskan tadi, Jokowi boleh kalah, tapi hal itu belum sepenuhnya bisa bergeser ke level menengah ke bawah.
Artinya, Jokowi boleh saja kehilangan angka di kelas menengah dan relatif well educated, namun di level rakyat biasa, ia masih menjadi pilihan.
Kembali ke stagnannya angka elektabilitas Jokowi juga bisa diakibatkan bahwa semua program kerja yang dilakukannya belum membuahkan hasil. Memang Jokowi sering melakukan peresmian dan ground breaking berbagai proyek, namun publik juga mencermati bahwa proyek yang diresmikan itu adalah proyek yang diprogramkan dan bahkan sudah dikerjakan oleh pemerintah terdahulu. Ini membuktikan bahwa proyek Jokowi sendiri, seperti Kereta Cepat dan LRT belum memperlihatkan hasil.
Trend ini menurut saya akan terus mengalami penurunan karena baru baru ini, Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat memuruskan menghentikan sementara proyek LRT karena seringnya terjadi kecelakaan kerja dan belum adanya laporan progresivitas pekerjaan proyek kereta cepat Jakarta -Bandung yang sudah berjalan selama dua tahun.
Kita tahu, disaat elektabilitas Jokowi cenderung stagnan, nama nama pesaingnya juga mulai berkibar. Nama Komandan Kogasma Partai Demokrat justru semakin mendapat tempat dihati rakyat. Kerinduan rakyat pada era SBY membuat AHY makin dinanti kehadirannya. Hal ini tampaknya disadari penuh oleh elemen yang ada di Partai Demokrat.
Nama lain yang tak kalah maju adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Anies bahkan disebut akan menjadi alternatif Partai Gerindra jika Prabowo urung mencalonkan diri sebagai Presiden di 2019 mendatang.
Disisi lain, Jokowi juga tengah dihadapkan pada persoalan pelik, dimana partainya sendiri, PDI-P belum memutuskan sikap terkait pencapresan dirinya. Adalah hal wajar, jika seorang incumbent ingin kembali menjabat, namun sinyal itu belum terlihat dari PDI-P. Jokowi, meski mengantongi tiket dari Partai NasDem, Hanura dan PPP, namun itu belum cukup untuk dicalonkan.
Selain mempertahankan elektabilitasnya, Jokowi juga dihadapkan pada faktor atau variabel lain yang akan mempengaruhi pilihan masyarakat kepadanya. Fakor itu adalah isu sosial, isu ekonomi, isu keamanan dan alasan kesamaan budaya. Empat hal inilah yang membentuk aspirasi politik individu dan masyarakat.
Faktor keamanan misalnya, saat ini menjadi sorotan tajam, dimana di tahun politik kasus kasus penyerangan terhadap tokoh agama marak terjadi. Hal ini membuat tunjuk mengarah pada Jokowi.
Sebagai Kepala Negara, Ia dituntut untuk mampu menciptakan situasi yang aman. Penyerangan terhadap tokoh ulama disinyalir berbagai pihak sebagai skenario yang ingin merusak ketenangan di tahun politik. Presiden kembali dihadapkan pada persoalan pelik.
Disisi lain faktor ekonomi. banyaknya kicauan dan postingan bernada protes di media sosial yang saat ini sudah sampai ke ruang ruang pribadi setiap warga negara akan mempengaruhi elektabilitas Jokowi.
Namun, yang menjadi pertanyaan, sejauh mana lawan lawan politik Jokowi mengkapitalisasi isu melemahnya dukungan itu untuk kepentingan politik mereka. itu juga belum terlihat. Partai partai politik selain Gerindra cenderung menunggu sambil mencari celah untuk merapat ke Jokowi. Bahkan hal ini juga dilakukan oleh Partai Keadilan Sejahtera. Ingat pidato Presiden PKS Sohibul Imam yang viral itu, seolah olah PKS berharap dilirik Jokowi sebagai tandem. Praktis tinggal hanya Partai Demokrat dan Gerindra yang masih belum menunjukkan sinyal.
Dan jika mengacu pada kajian survey Poltracking, maka skenario Pilpres bahwa Jokowi vs Prabowo vs Poros Ketiga bisa saja terjadi. Sebab, jika pilihannya adalah Jokowi vs Prabowo, maka publik akan menunggu adakah pilihan selain mereka berdua?. Jika ada bukan tidak mungkin arah angin akan berubah.
(Rhoma Irama Sutan Nan Bungsu/PolitikToday/dik)