Ferdinand Hutahaean (dokpri)

Oleh: Ferdinand Hutahean*)

Dua hari terakhir jagad politik nasional kembali diguncang oleh rencana Kementerian Dalam Negeri yang mengusulkan dengan cara menunjuk dan menugaskan Perwira Tinggi Aktif Polri untuk menjadi Pejabat Sementara (Pjs) Gubernur di daerah yang menghadapi Pilkada Serentak 2018 terutama Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Jawa Barat. Dua Provinsi yang cukup besar dan memiliki pengaruh politik secara nasional, dan di sana pula ada Calon Kepala Daerah yang ikut berlaga dari PDI Perjuangan, Partai yang sama dengan Tjahjo Kumolo sang Menteri Dalam Negeri.

Rencana kebijakan tersebut sontak menuai protes keras dari beberapa partai politik dan protes dari publik terutama kalangan netizen yang menganggap bahwa rencana tersebut tidak lepas dari agenda terselubung untuk memenangkan calon tertentu, setidaknya begitulah dugaan yang kemudian muncul dan menajadi alasan publik untuk menolak rencana tersebut.

Memang sangat aneh dan menjadi tidak wajar rencana Mendagri tersebut, karena bila merujuk kepada seluruh aturan, baik Undang-undang maupun Peraturan Menteri yang mengatur tentang hal tersebut menyatakan bahwa Pjs kepala Daerah Gubernur maupun Bupati atau Walikota adalah Aparatur Sipil Negara, setingkat Madya atau Pratama. Tidak disebutkan di dalam aturan itu boleh menunjuk dan menugaskan anggota Polri atau TNI, namun dibatasi dengan kalimat Aparatur Sipil Negara. Dengan demikian, dimana Polri bukanlah ASN maka semestinya berdasarkan aturan tidak boleh menduduki jabatan Pjs Kepala Daerah.

Berdasarkan informasi yang beredar di media, alasan Mendagri Tjahjo Kumolo memilih Perwira Tinggi Polri untuk menjadi Pjs Gubernur di Sumatera Utara dan Jawa Barat adalah demi alasan keamanan. Sungguh alasan ini mengada-ada karena merupakan bentuk pelecehan terhadap supremasi pemerintahan sipil yang seolah sipil tidak mampu menjaga keamanan daerah dan juga melecehkan posisi Kepala Kepolisian Daerah setempat, dimana dianggap tidak mampu menjalankan tupoksinya menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah hukumnya selama Pilkada, maka perlu diangkat lagi seorang Perwira Polisi sebagai Pjs Gubernur. Ini sungguh tidak masuk akal, belum lagi di daerah tersebut ada Panglima Daerah Militer yang siap membantu Polri menjaga keamanan dan ketertiban umum. Dan bahkan bila logika Mendagri Tjhajo Kumolo kita ikuti lebih jauh, maka sama saja artinya Tjahjo juga meragukan Presiden Jokowi yang seorang sipil mampu menjaga kemanan dan ketertiban negara ini. Apakah begitu logikanya seorang Mendagri?

Sedikit mundur ke belakang era Reformasi sejak 1998, Bangsa ini telah membayar dengan sangat mahal Reformasi yang salah satunya adalah pencabutan Dwi Fungsi ABRI (TNI/Polri) yang kala itu sangat dominan. Dwi Fungsi dicabut, mati bahkan dikuburkan, dan bangsa ini kemudian telah merasakan dampak positifnya yaitu adanya pengaturan tegas ruang wilayah TNI/Polri yang tidak boleh masuk dalam ranah politik. Boleh masuk politik, tapi harus mundur dari kesatuan. Logis. Namun saat ini, setelah Dwi Fungsi mati hampir sekitar 20 tahun silam, kini Mendagri Tjahjo Kumolo muncul dan ingin menghidupkan kembali Dwi Fungsi tersebut dengan alasan yang tidak logis dan tidak masuk akal. Bertobatlah Tjahjo, jangan rusak lagi sistem negara kita yang sudah susah payah diperbaiki dan dibayar mahal 20 tahun silam.

Mendagri Tjahjo Kumolo juga harus menyadari bahwa kebijakannya adalah berpotensi makin menggerus elektabilitas Pak Jokowi sebagai Presiden yang akan maju kembali 2019 nanti sebagai Calon Presiden. Bukankah Tjahjo dan Jokowi berasal dari partai yang sama? Lantas mengapa Tjahjo seperti sengaja membuat kebijakan yang berpotensi menurunkan elektabilitas Pak Jokowi? Ataukah ada agenda lain misalnya konspirasi di balik rencana penempatan Polri sebagai Pjs Gubernur?

Semoga tidak ada agenda-agenda lain yang terselubung dari renacan kebijakan tersebut. Sebab, bila ada, itu hanya akan merusak nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai neteralitas Polri dalam politik.

Terakhir, sebaiknya Mendagri Tjahjo Kumolo membatalkan niatnya untuk menunjuk dan menugaskan Perwira Tinggi Polri sebagai Pjs Gubernur, karena Polri adalah institusi yang terpisah dan tidak berada di bawah kewenangan Kementerian Dalam Negeri. Maka tidaklah tepat bila seorang Mendagri menunjuk dan menugaskan aparatur lain di luar lingkup kewenangannya. Kecuali Polri sudah berada di bawah Kementerian Dalam Negeri.

Selamat bertugas, Pak Tjahjo. Mari sama-sama menjaga bangsa ini demi masa depan demokrasi Indonesia.

Jakarta, 26 Januari 2017

*)Ketua Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum DPP Partai Demokrat; Komunikator Politik DPP Partai Demokrat