Moch Hasymi Ibrahim (tribunnews)

Oleh: Moch Hasymi Ibrahim*)

SEORANG tokoh adalah seorang yang menginspirasi.

Di hadapan publik, dialah yang secara samar-samar maupun terang-terangan dipandang sebagai perumus tujuan, menggaris arah dan langkah, memimpin dan mengendalikan wacana. Karena itu, seorang tokoh biasanya berada di barisan depan, kadang bersama yang lain, tetapi lebih banyak sendirian.

Ada juga yang menyebut, seorang tokoh adalah mercu suar, bercahaya sampai jauh, sehingga para pelayar dapat memiliki kepastian untuk mengatur haluan.

Sayangnya, dalam politik praktis kita tidak selalu menemukan ketokohan yang permanen. Tokoh-tokoh bisa datang dan pergi, hadir dan absen, bangkit dan tumbang, seiring berjalannya waktu.

Sudah ratusan bahkan ribuan nama pernah mengisi ruang publik, menebar pesona dan memancarkan cahaya, tetapi tidak banyak diantaranya yang dapat bertahan di sana.

Pada titik tertentu, politik praktis dapat dianggap sebagai the killing field bagi bakat-bakat bagus, sekaligus anak tangga emas bagi keberuntungan. Yang pasti, seorang atau seseorang, harus hadir di kancah, masuk ke pusaran dan mengadu nasib di sana untuk mencapai posisi terbaik.

Dengan spekulasi itulah agaknya, Ni’matullah tampil di medan politik Sulsel. Kehadirannya tidak mengejutkan, sebab selepas masa kuliahnya, dia memang tak jauh-jauh amat dari ranah politik praktis. Dia tampak tak dapat memilih karir penuh sebagai akuntan, sesuai dengan disiplinnya.

Sebagai aktivis dan bekas Wakil Ketua Senat Mahasiswa Unhas, hampir dapat ditebak bahwa darah politisi memang mengalir dalam dirinya. Konon bahkan sudah mengental sejak di lingkungan keluarga dan masa-masa sekolah menengah.

Apalagi dia hadir sejak awal di lingkungan politik yang amat terbuka pasca reformasi. Yang menarik kemudian adalah bahwa Ulla’, demikian sapaan akrabnya, per-hari ini adalah salah satu tokoh yang berpeluang meraih puncak.

Persepsi publik tentang politik Sulsel, baik sumber, aktor maupun permainan, umumnya masih didominasi oleh pertalian garis darah.

Hampir semua pelaku penting, pemenang dan pemegang posisi adalah mereka yang masih bertalian garis keturunan dengan tokoh-tokoh generasi sebelumnya. Ini fatsun yang wajar.

Ruang dan peluang memang lebih terbuka bagi kalangan ini terutama berkaitan dengan lingkungan yang melahirkan, menumbuhkan dan membesarkan mereka: keluarga, pilihan karir, organisasi dan proses pengkaderan.

Argumen yang mendasari kenyataan ini, baik secara sosial maupun akademik, pada titik tertentu mungkin dapat diabaikan.

Tetapi persoalan kemudian muncul ketika seorang yang tidak memiliki riwayat pertalian darah, atas berkat, upaya dan sokongan berbagai variabel, tiba-tiba muncul di panggung.

Pertama-tama dia harus siap menghadapi dan bisa berhasil mengatasi hambatan psikologis yang diturunkan oleh wacana garis darah tersebut. Mungkin bukan kebetulan kalau kita kerap menyebut wacana ini sebagai “politik-dinasti”, sebuah ujaran yang meski tidak selalu tepat, tetapi bernuansa kuat, kokoh dan tak terkalahkan.

Bagi Ni’matullah, dalam menghadapi medan permainan yang seolah terberi dan tak dapat ditolak itu, diperlukan siasat lain. Ulla tampak tak ingin terjebak dalam sirkum pertarungan tersebut.

Hal mana bagi banyak pemain lain bahkan dijadikan landasan idiologi perlawanan, dengan pilihan narasi dan diksi klise: “menumbangkan dinasti”. Ulla, terutama setelah memimpin Partai Demokrat Sulsel, hadir dengan apa yang disebutnya sebagai “politik gagasan”.

Sebuah wacana ideal dimana dengan dan melalui gagasanlah seharusnya politik diselenggarakan dan perebutan posisi adalah pertarungan untuk memenangkan gagasan. Dengan lontaran ini, Ni’matullah tampak menyediakan diri untuk menggeser popularitas sebagai indikator utama posisi politik.

Dia, dengan sadar memilih seperti Syahrir yang sunyi dibanding Soekarno yang gegap gempita.

Tinjauan ini tentu bersifat hipotetik, sebab di dalam politik, apalagi dalam praktiknya, tak ada anasir final. Politik gagasan yang ditawarkannya terimplementasi pada proses pengelolaan Partai Demokrat Sulsel.

Ulla menulis, misalnya, perlunya otonomi Provinsi untuk melahirkan keselarasan penyelenggaraan pemerintahan daerah terutama berkait dengan koordinasi dan pengendalian. Dia juga mendorong model penjaringan calon kepala daerah melalui uji publik berjenjang.

Secara berkala dia mengumpulkan akademisi dan aktivis untuk memperoleh menguji ide-ide yang ingin dikembangkan sekaligus memperoleh masukan. Saat ini dia tengah mematangkan gagasan untuk menghimpun pemikiran dan pandangan tentang Sulsel masa depan, sejenis visi besar untuk daerah ini.

Pada saat yang sama dia juga sangat intens mempelajari gejala bangkitnya generasi baru sebagai kekuatan penting pada masa depan yang dekat. Dia sangat asyik dengan seluruh proses tersebut sehingga dia, sebagai salah seorang pimpinan DPRD, kadang lebih terkesan sebagai pemikir dibanding politisi.

Dengan menggeser fokus pada upaya peningkatan popularitas, Ulla’ tentu tahu risiko atas pilihan tersebut. Dia agaknya menyadari bahwa fokus pada ide-ide yang ditawarkannya adalah investasi jangka panjang, dengan benefit dan revenue yang tak serta merta dapat dipetik. Sementara politik praktis tidak lain adalah permainan dalam ruang “kegentingan yang memaksa” dari hari ke hari.

Kalau hipotesa ini benar, maka ini juga merupakan bukti, bahwa latar belakang akademiknya sebagai pelajar ilmu akuntansi, ternyata kental mewarnai kalkulasi politik yang dimainkannya. Dalam hal terakhir dia tampak memilih seperti Hatta, seorang yang dilingkupi penuh buku bacaan, seorang yang nyaris tak menyediakan ruang emosional dalam bekerja.

Tetapi jangan salah, Ni’matullah adalah seorang yang sangat setia merawat selera humornya. Di balik keseriusan dunia gagasan yang dikembangkannya dalam berpolitik, dia adalah seorang yang merespon hampir semua soal pelik dengan humor.

Baginya, pertarungan politik harus senantiasa rileks sehingga relasi yang tercipta tetap merupakan relasi manusiawi. Kurang lebih masih sama dan sebangun dengan gaya kepemimpinan masa mahasiswanya, ketika menjadi the second man di Senat Mahasiswa Unhas dua dekade lampau. Dia terkesan nyaris tanpa ambisi untuk meraih posisi puncak.

Dan dengan semua ini, Ni’matullah adalah seorang tokoh yang bagi sahabat-sahabatnya, juga mungkin bagi lawan-lawan politiknya, adalah seorang yang amat menghargai percakapan. Seorang tokoh yang tentu menyadari bahwa tokoh-tokoh dapat datang dan pergi. Seorang yang seperti tokoh-tokoh lainnya, menyediakan diri menjadi pemandu arah, pemimpin langkah-langkah, mercu suar, setidaknya bagi Partai Demokrat.

Jakarta, 14/8/2017

*)budayawan tinggal di Jakarta

(tribunnews)