Oleh: Muhammad Husni Thamrin*)
Peran pemuda pada tahun 1942-1945, pada masa pendudukan militer Jepang di Indonesia tak dapat diabaikan. Nama-nama seperti Wikana, Chaerul Saleh, Sayuti Melik, atau Adam Malik, memberikan warna tersendiri terhadap revolusi kemerdekaan Indonesia. Bahkan dapat dibenarkan oleh sejarah, sepak terjang para pemuda ini mendorong percepatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan bukan sekadar mengandalkan janji kemerdekaan yang diberikan oleh Jepang.
Para pemuda juga yang bergabung dalam laskar-laskar perjuangan, tentara PETA atau kemudian Tentara Keamanan Rakyat (TKR), menularkan semangat zaman yang membentuk mereka, semangat revolusioner, yang menginginkan kedaulatan dan kemerdekaan penuh baik dari pendudukan Jepang atau kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia pasca-Perang Dunia II.
Kemiskinan, kesengsaraan rakyat akibat kerja paksa romusha, kelaparan di tengah-tengah rakyat, kekejaman tentara pendudukan Jepang ataupun panen-panen petani yang dirampas secara paksa, membentuk kesadaran revolusioner para pemuda dan menjadi semangat zaman yang mereka tularkan melalui perjuangan yang mereka lakukan.
Pasca-Demokrasi Terpimpin Soekarno, melalui Dekrit 5 Juli 1959, para pemuda muncul kembali di tahun 1966 melalui sebuah gerakan mahasiswa yang menuntut pemerintah melakukan koreksi terhadap berbagai kebijakan pembangunan saat itu, untuk lebih berkeadilan dan peduli pada kemiskinan di tengah rakyat dan menimbulkan kesengsaraan. Demokrasi Terpimpin Soekarno gagal memajukan kesejahteraan rakyat. Inflasi tinggi, harga kebutuhan pokok melambung, hingga rakyat yang harus mengantri panjang untuk memperoleh 1-2 liter beras.
Harga barang naik sangat tinggi terutama Bahan Bakar Minyak (BBM). Oleh karenanya, pada 12 Januari 1966 Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI ) memelopori kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila mendatangi DPR-GR menuntut Tritura.
Isi Tritura adalah:
- Pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya
- Perombakan Kabinet Dwikora
- Turunkan harga sembako
Gerakan mahasiswa tahun 1966 turut mengubah peta politik Indonesia, menjadi pemberi warna lain pada transisi perubahan dari Orde Lama ke Orde Baru.
Korupsi, kemiskinan dan politik yang penuh jargon di era Demokrasi Terpimpin menjadi bentuk kesadaran baru para pemuda dan mahasiswa 1960an, untuk menuntut perubahan yang lebih baik bagi rakyat.
Percikan semangat perubahan serupa dari para pemuda muncul kembali di era 70an, yang sekali lagi mencoba mengoreksi arah pembangunan pemerintahan Orde Baru, yang mereka anggap melenceng dengan munculnya berbagai praktek korupsi di kalangan pemerintah, birokrasi, dan nepotisme keluarga Soeharto.
Sikap otoriter pemerintah atau kemiskinan rakyat dan pembangunan ekonomi yang dianggap belum adil, serta hanya menguntungkan sekelompok kepentingan tertentu, adalah beberapa aspek kegagalan Orde Baru yang disoroti oleh para pemuda.
Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) adalah puncak kekecewaan mahasiswa atas sepak terjang pemerintahan Soeharto yang sangat tergantung pada modal dan investasi Jepang serta uang luar negeri dari negara negara donor yang tergabung dalam Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI)
Peritiwa Malari menjadi momentum demonstrasi antimodal asing, yang berujung pada kerusuhan besar di Jakarta.
Babakan baru kebangkitan pemuda sebagai agen perubahan kembali muncul di penghujung pemerintahan Soeharto dan Orde Barunya, yang telah berkuasa selama lebih kurang 32 tahun.
Puncak gerakan mahasiswa dan gerakan rakyat pro-demokrasi pada akhir dasawarsa 1990-an. Gerakan ini menjadi monumental karena dianggap berhasil memaksa Soeharto berhenti dari jabatan Presiden Republik Indonesia pada 21 Mei 1998, setelah 32 tahun menjadi Presiden Republik Indonesia
Kebijakan politik dan ekonomi yang dijalankan oleh Soeharto mendapat kecaman dari mahasiswa karena krisis ekonomi yang membuat hampir setengah dari seluruh penduduk Indonesia mengalami kemiskinan.
Gerakan ini mendapatkan momentumnya saat terjadinya krisis moneter, harga-harga kebutuhan melambung tinggi, daya beli masyarakat pun berkurang. Mahasiswa menuntut Soeharto mundur.
Demonstrasi bertambah gencar dilaksanakan para mahasiswa, terutama setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada 4 Mei 1998.
Agenda reformasi yang menjadi tuntutan para mahasiswa mencakup beberapa tuntutan, seperti:
- Adili Soeharto dan Kroni-kroninya
- Laksanakan Amandemen UUD 1945
- Hapuskan Dwi Fungsi ABRI
- Pelaksanaan Otonomi Daerah yang Seluas-luasnya
- Tegakkan Supremasi Hukum
- Ciptakan Pemerintahan yang Bersih dari KKN.
Gerakan mahasiswa tersebut berhasil melengserkan Soeharto dari kedudukannya, meski dengan memakan korban tewasnya mahasiswa di Tragedi Trisakti dan Tragedi Semanggi
Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998 memulai babak nangsa Indonesia, yaitu era Reformasi.
Reformasi 1998 menunjukkan tentang bagaimana pemuda muncul di garda terdepan menuntut adanya perubahan. Pemuda dan gerakan reformasi 1998 meruntuhkan hegemoni rezim Orde Baru yang telah berkuasa 32 tahun dan menjadi babak baru dalam perpolitikan Indonesia.
Lalu bagaimana dengan mahasiswa dan pemuda generasi millenial?
Generasi millenial boleh dibilang generasi yang tak mengalami hidup di masa Orde Baru. Mereka rata-rata dilahirkan pada tahun 1982-2004. Pola pikir dan kesadaran politik mereka berbeda dengan generasi sebelumnya. Etos dan kesadaran yang berbeda.
Seperti generasi lain, generasi ini memiliki cara tersendiri dalam mengaktualisasikan kebebasan dan keberpihakan dalam kehidupan politik dan demokrasi saat ini.
Ciri generasi millenial adalah keakraban dengan social media, komunikasi yang intens melalui media sosial, aktif beropini menyampaikan aspirasi sosial maupun politik, kadang skeptis terhadap pejabat publik, kesadaran dalam membangun image/citra diri, personal branding, generasi millenial juga generasi yang siap dan aktif dalam kerelawanan di bidang sosial maupun politik.
Situasi yang dihadapi oleh generasi millenial serta isu-isu sosial politik yang muncul taklah terlalu berbeda dengan isu yang dihadapi generasi pemuda sebelumnya. Soal kemiskinan, soal lapangan kerja, persaingan di tingkat global, isu kesehatan, isu lingkungan dan sebagainya adalah beberapa yang tetap relevan dan menjadi titik perhatian mahasiswa dan anak-anak muda.
Melihat komposisi para politisi yang kini masih acap muncul dalam pembicaraan maupun liputan media, seperti Jusuf Kalla, Prabowo, Jokowi, Moeldoko, Sri Mulyani, atau pun Gatot Nurmantyo, cukup diragukan dapat memahami semangat zaman generasi millineal hari ini. Pemahaman mereka tentang generasi millenial serta langgam politik yang dimiliki mungkin tak bertemu.
Era yang menguhubungkan satu negara dengan negara lain di era global sekarang membutuhkan politisi muda yang cakap dan memahami konteks politik nasional serta tempatnya di percaturan politik global.
Generasi millenial membutuhkan politisi yang tidak cupat, terkungkung dalam pemikiran sempit lokal dan gaya berpolitik yang “aging”.
Era emas Indonesia 2045 harus mampu menjadi pemain global dan menampilkan pemimpin atau politisi yang mampu memajukan generasi muda Indonesia menyongsong zaman tersebut. Generasi millenial adalah surplus demographis yang selama ini diabaikan oleh rezim Jokowi.
Ekonomi yang melemah, taraf hidup rakyat yang menurun, hukum yang tebang pilih, keadilan politik, hukum, sosial dan ekonomi yang semakin terabaikan, peran international yang semakin meredup, demokrasi, kebebasan politik dan hak asasi manusia yang semakin dikerdilkan, adalah fenomena yang tak luput dari perhatian para generasi millenial.
Bagi pemuda organisasi dan kepemimpinan yang digunakan haruslah berakar dalam tradisi pemuda tersebut. Harus ada “supir” yang mampu mengendalikan dan mengatur persneling semangat para pemuda.
Bukankah semangat zaman serta kesamaan generasi tersebut memberikan tempat yang sesuai sebagai generasi yang dilahirkan sezaman bagi sosok seperti Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)?
Jakarta 5 Juli 2017
*)Komunikator Politik DPP Partai Demokrat