Oleh: Ferdinand Hutahaean*)
Tahun 2018 terus bergulir meninggalkan bulan-bulan pertamanya. Waktu begitu cepat tanpa kompromi meninggalkan siapa saja yang tidak siap untuk berlari kencang bersama waktu. Demikian juga para politisi yang akan bertarung memperebutkan kepercayaan rakyat di kancah politik nasional maupun politik lokal dalam kontestasi pilkada.
Waktu yang begitu cepat bergulir itu pula sekarang membawa kita kepada sisa waktu 5 (Lima) bulan sebelum pendaftaran Calon Presiden minggu kedua Agustus 2018. Waktu yang tak banyak tersisa bagi politisi untuk menunjukkan dirinya dan menjual kapasitas dan kapabilitasnya ke publik untuk kemudian dibayar dengan angka keterpilihan atau elektabilitas.
Apa yang bisa publik saat ini dapat dari situasi politik nasional yang akan menghasilkan kepemimpinan nasional 5 tahun mendatang? Mengapa kancah politik kita tampak gairahnya tinggi namun belum memunculkan kompetitor terhadap capres petahan saat ini? Secara resmi yang sudah dideklarasikan dan hampir maju sebagai Calon Presiden 2019 baru Satu nama yaitu Ir Joko Widodo yang menjabat sebagai Presiden RI ke-7 saat ini. Selain Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi, belum ada yang secara resmi mendeklarasikan diri atau dideklarasikan sebagai Capres yang akan menantang Jokowi 2019 nanti.
Ada apa dengan regenerasi kepemimpinan nasional kita? Apakah bangsa ini gagal memunculkan regenerasi kepemimpinan yang akan menjadi penerus estafet kepemimpinan nasional ke depan?
Secara tidak resmi, pertarungan politik kepemimpinan nasional 2014 lalu masih menyisakan Prabowo Subianto sebagai bakal calon penantang bagi Jokowi 2019 nanti. Itupun belum pasti karena sampai saat ini Prabowo Subianto belum juga mendeklarasikan diri atau belum dideklarasikan Partai Gerindra akan maju sebagai penantang bagi petahana 2019 nanti. Tapi baiklah kita mencoba menempatkan Prabowo Subianto sebagai penantang resmi bagi Jokowi 2019 nanti. Dengan demikian ada dua poros yaitu Jokowi melawan Prabowo Subianto.
Dua poros sisa pertarungan 2014 lalu yaitu Jokowi dan Prabowo masih menyisakan bara api perseteruan yang tidak kunjung padam hingga kini._ Jokowi sebagai presiden ternyata belum mampu merangkul semua kelompok dengan baik hingga akhir masa jabatannya. Jokowi tampaknya gagal menyatukan seluruh anak bangsa ke dalam bingkai kesatuan pasca-Pilpres. Terbukti saat ini di media dan media sosial dan di tengah masyarakat, masih menyisakan perdebatan keras antara pendukung Jokowi dan pendukung Prabowo, bahkan kedua tokoh ini tampak hanya senyum saling sapa di luar, tapi di dalam, hm… masih bergemuruh sisa pertarungan 2014 lalu.
Lantas apakah ke dua poros ini akan benar-benar menjadi petarung di dalam ring tinju Pilpres 2019 nanti? Mari kita sejenak berandai-andai. Andaikan itu benar Pilpres 2019 hanya diikuti Jokowi dan Prabowo, pertanyaan yang jauh lebih menarik untuk dijawab adalah apa yang akan terjadi terhadap bangsa Indonesia? Pertanyaan ini jauh lebih menarik bagi saya untuk dikupas dan dibahas daripada menjawab pertanyaan siapa pemenang dari kontestasi tersebut. Karena hampir mudah sekali dijawab bila melihat realitas sekarang (terlepas dari dinamika politik selama sisa tahun 2018). Saya tidak ingin menuliskan jawabannya di sini karena saya yakin kita semua bisa menduga jawabannya.
Kembali ke pertanyaan di atas, apa yang akan terjadi kepada bangsa Indonesia jika 2019 pilpres hanya di ikuti oleh Jokowi dan Prabowo? Gambaran saya kira-kira akan terjadi perpecahan serius bangsa ini, situasi anarki dan mungkin kericuhan di mana-mana. Itulah yang bisa saya bayangkan terjadi bila melihat kerasnya perbedaan antara pendukung kedua belah pihak saat ini. Apalagi bila terjadi kecurangan sedikit saja, pasti akan memicu gelombang besar amarah. Inikah yang kita inginkan terjadi?
Tentu saya pribadi tidak berharap dan berdoa agar bangsa ini dijauhkan dari perpecahan dan kemarahan. Namun harapan dan doa bisa saja tidak sesuai dengan realita. Lantas dengan berandai –andai tadi, kita bisa melihat bayangan dan gambaran yang tidak baik terhadap masa depan bangsa, akankah kita membiarkan semua itu terjadi? Tentu harapan kita semua, elite-elite bangsa harus mampu memikirkan ini ke depan, memberikan solusi bagi keutuhan bangsa dan masa depan negara kita. Solusinya apa? Hemat saya harus ada saluran politik baru yaitu poros baru, ketiga, dalam Pilpres 2019 nanti.
Mengapa begitu pentingnya poros ketiga dan menjadi kebutuhan? Karena poros ini diharap akan menjadi saluran pendingin suhu politik yang panas, poros ini akan menjadi solusi bagi kebuntuan politik yang membuat banyak pihak frustasi dalam hidup berbangsa dan bernegara, poros ini akan menjadi poros penengah dan menjadi alternatif bagi publik yang tidak ingin melihat kondisi bangsa menurun karena perseteruan tak kunjung usai, dan menurunnya kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara serta menurunnya kesejahteraan ekonomi bangsa pasca Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerahkan estafet kepemimpinan kepada Presiden Jokowi.
Di situlah letaknya mengapa Poros Baru Ketiga menjadi perlu dan menjadi kebutuhan. Bukan sekadar keinginan untuk mencari kekuasaan, tapi demi masa depan bangsa, demi kesatuan dan demi kondusifitas negara kita. Tanpa poros ketiga, kekhawatiran terbesar adalah perpecahan dan konflik antar sesama anak bangsa. Dengan demikian, semoga elite bangsa ini mampu dan mau serta ikhlas berbuat demi bangsa dan negara yaitu Indonesia yang kita cintai.
Semoga pertemuan malam ini di Cikeas menghasilkan solusi baru bagi bangsa…!
Jakarta, 16 Maret 2018
*)Pimpinan Rumah Amanah Rakyat