Presiden RI ke-3 BJ Habibie (politiktoday)

Presiden RI Ketiga, Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie (BJ Habibie) pernah mengatakan bahwa pemimpin Indonesia hendaklah dari kalangan orang muda. Menurutnya generasi transisi sudah cukup memimpin negeri ini, era kepemimpinan kedepan harus dilanjutkan oleh generasi muda. Tidak harus dari politisi, tapi bisa jadi dari kalangan teknokrat yang survival politicion.

Generasi transisi yang dimaksud adalah generasi yang pada zaman orde baru telah berkarir dan merasakan manis pahitnya rezim tersebut. Konkritnya generasi peralihan ini adalah orang-orang yang berumur 60 tahun saat ini. Generasi ini diplot lebih cocok sebagai guru bangsa atau negarawan.

Terbukti, pada 2014 Jokowi yang merupakan representasi kelompok muda saat itu mampu menjadi RI 1 mengalahkan Prabowo Subianto. Jokowi menjadi icon kelompok muda yang disebut antimainstream. Dia berani tampil adanya, walaupun kiri kanan mendapat kritikan dari lawan politiknya.

Untuk 2019 Habibie kembali menunjukkan kriteria pemimpin nasional. Lagi-lagi ia memploting rentang umur 40 hingga 60 tahun yang layak menjadi pemimpin Indonesia kedepan. Disisi lain ia juga menjelaskan bahwa orang yang dimaksudnya tidak harus seorang politisi bisa saja dari kalangan teknokrat.

Habibie mengaku mengantongi sejumlah nama, namun ia enggan untuk menyampaikannya, karena ia takut apabila dibuka terlalu cepat maka akan mendegradasi nama-nama tersebut. Karena tentu saja ambisi kelompok tua pemilik partai politik merasa akan terancam dengan munculnya tokoh-tokoh seperti itu. Selain kriteria umur, Habibie juga menyampaikan kriteria lainnya, seperti smart, mengayomi atau bukan pemimpin yang mengadu domba, dan visi misi yang jelas.

Jika kita menelisik acuan sang profesor ini, tentu ada 2 nama yang layak diperhitungkan. Pertama yaitu Joko Widodo yang dasarnya adalah seorang pengusaha meubel. Kedua, Agus Harimurti Yudhoyono yang berlatar belakang milter. Kedua nama ini bersaing ketat pada survei ILUNI UI terbaru meninggalkan nama-nama besar seperti Prabowo, Anies Baswedan, dan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo.

Memang banyak yang meragukan kemampuan AHY dalam mengelola pemerintahan. Tapi tidak ada yang bisa membantah, visi misi AHY tentang Indonesia Emas jauh dari apa yang dipikirkan oleh generasi transisi (tua) hari ini. Lagian yang banyak meragukan kemampuan AHY ini malah datang dari para buzzer bayaran yang tidak jelas kontribusinya terhadap pembangunan bangsa ini, yang ada hanyalah adu domba, saling bentur sana dan sini.

Dalam survei Poltracking terbaru, AHY ditempatkan pada posisi wakil yang sangat diperhitungkan. Artinya dipasangkan dengan siapa saja, AHY dapat mendongkrak elektabilitas pasangannya. Inipun didapatkan AHY bukan dari panggung pencitraan politik.

Pasca kekalahan AHY di Pilgub DKI, ia merepotkan dirinya dengan hal-hal pengabdian sosial. AHY tidak ikut “cawe-cawe” tentang isu SARA yang rentan dengan permainan politis sekelompok orang. AHY memilih membangun masyarakat dari ujung Aceh hingga ujung Papua.

Operasi senyap jauh dari media inilah yang perlahan namun pasti mengangkat nama AHY masuk dalam bursa yang patut diperhitungkan di panggung politik 2019. Seperti ayahnya, AHY melihat berkoalisi dengan rakyat adalah cara tepat untuk menggalang kekuatan. AHY bisa disebut jauh dari hingar bingar pencitraan panggung politik di televisi.

Dengan sisa waktu yang ada, tidak ada kata yang tidak mungkin bagi AHY untuk bisa menyalip nama sebesar Jokowi. Asalkan AHY tetap konsisten dengan koalisi yang dibangunnya dengan rakyat, maka rakyat pun akan mendukung. Banyak permasalahan yang ada direpublik ini yang harus ditangani oleh tangan cekatan anak muda seperti AHY. Semoga proses persaingan ini dapat berjalan dengan fair. Tanpa mematikan semangat anak muda (AHY) untuk mengabdi pada negeri ini.

(Abdul Gafar, Aktivis Pembela Ideologi Umat/politiktoday)