Oleh: Didi Irawadi Syamsuddin*)
Jawa Barat dan Sumatra Utara menjadi daerah yang penting terkait pilkada 2018. Jabar menjadi provinsi terbanyak penduduknya di pulau Jawa, juga Sumut terbanyak di Sumatra.
Pelaksanaan Pilkada di kedua tempat ini tentu akan mendapatkan perhatian yang luas. Oleh karenanya diharapkan pilkada demokratis, fair dan berkeadilan. Hak rakyat untuk memilih harus dijamin sepenuhnya dari segala bentuk dan potensi manipulasi.
Usulan Mendagri Tjahyo Kumolo mengangkat pejabat aktif kepolisian menjadi Penjabat (Pj) Gubernur Jabar dan Sumut patut dipertanyakan. Apalagi di kedua wilayah tersebut ada calon partai tertentu. Patutlah banyak yang bertanya-tanya apakah hal ini untuk melindungi kepentingan calon-calon partai tertentu itu.
Patut disayangkan kebijakan yang diambil terkait dengan pengisian Pj Kepala daerah yang akan diisi oleh pejabat Kepolisian tersebut. Kebijakan ini akan berpotensi mengganggu lahirnya demokrasi yang bersih dan fair karena bisa berimplikasi kepada potensi tidak netralnya aparat dalam mengawal dan menjaga demokrasi.
Apalagi banyak pihak mengatakan, Ini tahun politik dengan persaingan yang keras. Oleh karenanya banyak kepentingan harus dilindungi demi pemilu yang fair dan demokratis. Maka tentulah kurang patut manakala ada pejabat polisi dijadikan Pj Gubernur. Walaupun mungkin maksudnya untuk mengisi kekosongan jabatan sementara. Tetapi bagaimana bisa menjamin netralitasnya di kemudian hari?
Sebab bukan saja karena ada calon partai tertentu yang akan kontes pilkada di Jabar dan Sumut, tetapi juga ada anggota polisi yang juga kandidat cawagub partai tertentu, khusunya untuk Jabar.
Kita semua mengetahui bahwa polisi jabatan yang mulia, yang senantiasa menjadi pengayom dan penegak hukum yang harus tegak berdiri diatas semua kepentingan, dengan demikian benar-benar harus netral diantara semua partai yang ada. Wajar kalau publik dan partai-partai yang utamanya bukan partai tertentu tersebut curiga dan bertanya-tanya kenapa harus polisi yang menjadi Pj Gubernur Jabar dan Sumut.
Dan yang tidak habis membuat kami bertanya-tanya, polisi aktif pula yang ditugaskan pada kedua wilayah tersebut. Sekali lagi bagaimana kelak akan bisa menjaga netralitas?
Apakah tidak ada aparatur pemerintahan lain yang lebih pas untuk ditempatkan pada wilayah Jabar dan Sumut sesuai amanat UU Aparat Sipil Negara?
Oleh karenanya biarkanlah polisi tetap netral, menuntaskan tugas mulia dengan profesional, baik sebagai pengayom dan yang terpenting sebagai penegak hukum yang benar-benar bisa menjaga ketertiban dan netralitas penyelenggaran pilkada di atas semua kepentingan.
Andai Mendagri Tjahyo Kumolo tetap ngotot mengajukan Polisi sebagai Pj Gubernur, maka harapan kami tinggal pada Bapak Presiden Jokowi. Kami percaya bahwa Bapak Presiden akan menjaga dengan baik netralitas Pilkada ini. Oleh karenanya kami berharap semoga Presiden Jokowi bisa mengingatkan Mendagri Tjahyo Kumolo sebagai pembantunya untuk tidak memaksakan kehendaknya tersebut.
Sebab manakala kelak publik dan banyak pihak menjadi curiga dan meragukan netralitas pemerintah di tahun pemilu 2018 ini, maka niat baik Presiden Jokowi untuk senatiasa menjaga marwah pemilu yang fair, netral dan adil akan terdegradasi oleh kebijakan Mendagri Tjahyo Kumolo, yang jelas kurang patut dan keliru tersebut.
*)Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat