Oleh: Abdullah Rasyid*)
Sembilan dari sepuluh parpol pengusung paslon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat cenderung menunjukkan sikap menolak perwira aktif Polri menjadi Penjabat Gubernur di provinsi itu. Sebagian menolak dengan halus, sebagian lainnya menentang keras.
Pelanggaran terhadap undang-undang dijadikan sebagai alasannya. Tetapi kekhawatiran Sang Penjabat Gubernur akan berlaku tidak adil dan bersikap tidak netral dalam Pilkada Jabar dapat diidentifikasi sebagai alasan utamanya.
Jika ada 90% parpol pengusung paslon yang menolak, itu artinya Jawa Barat sedang dilanda krisis kepercayaan yang maha serius terkait kepemimpinan di daerah itu, pada masa Pilkada ini.
Penjabat Gubernur memang bukan penyelenggara Pilkada, tetapi Penjabat Gubernur memiliki banyak kesempatan untuk ikut ‘bermain’ dalam perhelatan Pilkada. Di sinilah pangkal soal resistensinya.
Pilkada tentu tidak tepat digelar dalam iklim politik dimana tingkat kepercayaan masyarakatnya sedemikian merosot. Sebab Pilkada menuntut adanya kepercayaan total dari rakyat terhadap institusi Penyelenggara, termasuk kepada pemegang kendali pemerintahan daerah.
Jadi jika krisis kepercayaan terhadap Penjabat Gubernur Jawa Barat tidak segera diatasi sehingga iklim Pilkada menjadi semakin tidak kondusif, maka sepertinya perlu dipikirkan untuk menunda pelaksanaan Pilkada di Jawa Barat sampai ada penunjukan Penjabat Gubernur yang baru.
Kedua, dalam hal alternatif pertama di atas dianggap terlalu ekstrem atau terganjal oleh aturan hukum, maka Keputusan Presiden yang menjadi dasar pengangkatan Penjabat Gubernur Jawa Barat itu dapat saja digugat ke pengadilan. Tetapi cara ini tampaknya kurang efektif. Sebab prosesnya hampir dipastikan tidak mampu mengejar Hari Pemungutan Suara yang menjadi puncak tahapan Pilkada, sekaligus puncak ‘permainan’-nya.
Ketiga, bisa juga kesembilan parpol dimaksud melalui wakil-wakilnya yang duduk di lembaga perwakilan rakyat menggulirkan Hak Menyatakan Pendapat (HMP). Tetapi tidak dilevel DPR RI, melainkan di tingkat DPRD Jawa Barat dengan target memecat Penjabat Gubernur yang sekarang.
Argumennya, telah terjadi krisis kepercayaan yang meluas di masyarakat yang dikategorikan sebagai kejadian luar biasa. Problemnya, kendala waktu lagi-lagi menjadi penghalangnya. Untuk menggelar forum HMP diperlukan berbagai persiapan yang sepertinya juga tidak bisa dituntaskan sebelum Hari Pemungutan Suara.
Jadi, jika ingin cara yang lebih mudah, cepat, dan efektif untuk memulihkan iklim politik dan Pilkada di Jawa Barat, tersisa satu alternatifnya: mendesak sekeras-kerasnya kepada Presiden untuk segera mencopot Penjabat yang kemarin baru dilantik dan menggantinya dengan Penjabat baru yang dipercaya rakyat.
*) Sekretaris Departemen Dalam Negeri DPP-PD