Oleh: Haidar Majid*)
Apa sesungguhnya yang membuat hidup jadi resah, gelisah, cemas dan serba tidak menentu. Jawabannya bisa sederhana saja, “ketakutan”. Takut tak berpangkat, takut tak berjabatan. Takut kekurangan popularitas, tak dihormati. Takut tak cukup kebutuhan, takut masa depan samar. Takut sandang tak dilirik, takut pangan tak sesuai selera. Semua serba takut.
Untuk menghilangkan “ketakutan”, diciptakanlah “musuh” agar terkesan berani. Siapa saja yang bisa jadi “penghalang” dalam upaya menghilangkan “ketakutan”, maka otomatis terkategori sebagai “musuh”. Teman sekantor yang lebih berprestasi, bisa jadi penghalang untuk mencapai puncak karier, dimasukkan sebagai kategori “musuh”. Pangkat yang diidam-idamkan tak kunjung tiba karena “nilai” yang belum bersesuaian, dituding sebagai oknum yang menghalangi, juga dianggap sebagai “musuh”.
Popularitas yang susut dari waktu ke waktu ditengarai sebagai kerjaan orang lain atau kelompok tertentu yang dengan sengaja mendesain agar itu terjadi, dianggap “musuh”. Juga tatkala merasa diri tak lagi dihargai, tak lagi dihormati, ditinggalkan oleh “pengikut”, mereka semua akan menjadi “musuh” yang harus dilawan dengan cara apa pun juga.
Pemenuhan kebutuhan menjadi alasan utama mengapa kita terus berusaha. Kebutuhan yang setiap saat dinamis, selalu saja minta untuk dipenuhi. Kebutuhan yang “samar beda” dengan ketamakan, seringkali menggiring untuk berbuat apa saja dalam pemenuhannya. Apa pun akan dilakukan agar terpenuhi. Dan siapa saja yang jadi penghalang, juga akan masuk kotak “musuh”.
Pun juga soal sandang dan pangan yang merupakan kebutuhan yang hakiki, juga selalu mendesak untuk dipenuhi. Hanya saja, kebutuhan primer ini telah bergeser perlahan-lahan menjadi semacam kebutuhan prestisius. Sandang tidak lagi sekadar apa yang melekat di badan tetapi “merek” apa yang tertera di sandang itu. Begitu juga dengan pangan, yang tidak lagi sekadar makan untuk kenyang, tetapi apa jenisnya dan di mana tempatnya. Ini soal dilihat dan melihat.
Untuk kebutuhan sandang dan pangan, sekali lagi tidak melulu berurusan di wilayah menutup badan dan kenyang. Mata lebih sering “membandingkan” antara apa yang melekat dan dikunyah serta tempat mana kita bersantap dengan apa merek dan apa yang dikunyah serta di mana orang lain bersantap. Jika orang lain lebih dari kita, maka dengan sendirinya, mereka juga “musuh” dengan alasan yang juga sangat sederhana, mereka melampaui kita, lebih “wah”.
Musuh yang telah “diciptakan” itu terus “dipelihara”. Caranya, bisa dengan berupaya “menjatuhkan”, mencaci dan memaki, mendiskreditkan, sebar hoaks dan menabur fitnah. Cara ini dianggap efektif untuk “melumpuhkan”. Wadah yang digunakan apa saja. Secara konvensional, bisa dengan “bisik-bisik”. Di luar cara-cara konvensional, bisa juga menggunakan berbagai fitur yang tersedia di gawai (gadget). Cara ini yang sedang banyak-banyaknya digunakan. Semua dilampiaskan, semua dikabarkan.
Persilangan kebutuhan yang tersendat membuat upaya saling menjatuhkan, saling mencaci maki, saling sebar hoaks dan fitnah tak bisa dielakkan. Merasa diri paling benar dan paling baik menjadi “rebutan”. Tak ada satu pun yang mau mengambil posisi “mengalah”. Semua menampilkan diri “seolah-olah” yang terbaik, memoles diri agar yang melihat dan membaca bisa berkesimpulan, “oh, memang dia baik”.
Padahal sejatinya, kebutuhan itu dipenuhi secara proporsional, bukan secara berlebihan, apalagi dibingkai oleh kata “tamak” atau “serakah”. Jika hidup bisa berlangsung seperti itu, tak ada lagi pertentangan secara ekstrem, saling menjatuhkan, saling tebar fitnah dan hoaks. Dan tentu saja, tak perlu iri hati apalagi dengki jika melihat merek pakaian atau tempat makan orang lain yang lebih “wah”, karena secara proporsional, mungkin mereka memang lebih dari kita.
Bersyukurlah kita, bahwa setiap tahunnya, ada “puasa” yang bisa meredam bahkan menghentikan pemenuhan kebutuhan kita yang cenderung ‘liar’. Bersyukurlah kita karena kita masih berkesempatan bertemu “bulan puasa”, berkesempatan untuk saling mengingatkan bahwa tebar hoaks dan fitnah bisa mencelakakan diri dan orang lain. Bersyukurlah kita karena “bulan puasa” mengajarkan kita bahwa berkah harta benda sesungguhnya bukan pada saat kita memanfaatkan untuk diri sendiri, tetapi saat berbagi.
Dan bersyukur kita bila seluruh “pesan bulan puasa” bisa diimplementasikan di sebelas bulan sesudah “bulan puasa”, sehingga hidup bisa menjadi lebih indah, lebih nyaman dan lebih bahagia karena rasa cemas, resah, gelisah dan rasa tak menentu bisa “hilang” karena hidup saling menghargai, menjaga kebersamaan dan saling berbagi.
Makassar, 26 Mei 2017
Salam #akumemilihsetia
*)Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD Provinsi Sulawesi Selatan