Oleh: Agus Harimurti Yudhoyono (dokpri AHY)

Oleh: Agus Harimurti Yudhoyono

Akhir-akhir ini, masyarakat ramai mendiskusikan Pancasila dan kebinekaan. Muncul pertanyaan: seberapa relevan Pancasila di abad 21? Globalisasi dan revolusi teknologi informasi dan komunikasi telah menembus batas-batas negara-bangsa (nation-state).

Paradoksnya, abad 21 juga diwarnai oleh sektarianisme dan primordialisme yang justru menguatkan sekat-sekat antar suku, ras, dan agama.

Di dunia, kita melihat ideologi komunisme sudah tumbang. Negara-negara yang dulu pernah paling gigih mengusungnya, sekarang justru mengadopsi ideologi kapitalisme-liberalisme, baik secara terbuka ataupun malu-malu.

Tapi kapitalisme-liberalisme juga bukan tanpa masalah. Keserakahan ekonomi (greed economy) para pemilik modal kerap melahirkan ketidakadilan sosial. Yang kuat semakin kuat, yang kalah tersingkirkan.

Dampak lainnya, munculnya kembali sentimen yang bersifat anti asing (xenophobic). Sebagian memilih untuk menarik diri dari globalisasi, dan bersikap ultra-nasionalistis. Ini semua mengindikasikan masih banyak yang perlu diperbaiki dari ideologi kapitalisme-liberalisme.

Kemudian, ideologi jalan tengah yang memadukan kapitalisme dan sosialisme, juga belum bisa sepenuhnya menjawab persoalan-persoalan tersebut.

Sejak tahun 1945, kita telah memilih Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara. Pancasila tidak dilahirkan begitu saja. Bukan juga warisan penjajah atau menjiplak ideologi manapun. Pancasila merupakan hasil perenungan dan penggalian Bung Karno dan para founding fathers lainnya terhadap nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

Sebagai ideologi, Pancasila merupakan pandangan hidup dan konsensus bersama bangsa Indonesia, sebuah bangsa yang memiliki keunikan, baik dari aspek geografisnya, keberagaman suku, agama dan budayanya, maupun sejarah perjalanannya.

Walaupun, beberapa kali ada upaya untuk menggantinya dengan ideologi lain, Pancasila tetap hidup dan bertahan.

Inilah yang meyakinkan saya bahwa dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Pancasila tetap yang terbaik untuk Indonesia.

Tetapi, apakah aktualisasi Pancasila hari ini sudah sesuai dengan yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa dan kita semua?

Kita lihat sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila ini mencerminkan karakter bangsa Indonesia yang berketuhanan. Meskipun terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan, sila ini menjamin hak untuk menjalankan ibadah bagi setiap individu, sekaligus kewajibannya untuk saling menghormati perbedaan antar keyakinan dan hidup rukun berdampingan.

Namun, konflik-konflik bernuansa agama muncul di Tanah Air belakangan ini. Semula berawal dari perebutan kepentingan politik jangka pendek. Berawal dari Jakarta, kemudian merebak cepat ke daerah-daerah lainnya. Ini menunjukkan bahwa kita belum sepenuhnya menjiwai sila pertama Pancasila.

Secara khusus saya ingin menggarisbawahi upaya sebagian pihak untuk membenturkan Pancasila dengan Islam. Ini berbahaya, karena upaya ini hanya akan memecah belah kita. Saya berpendapat bahwa Islam kompatibel dengan Pancasila. Sebaliknya, Pancasila memberikan ruang luas bagi berkembangnya Islam maupun agama lainnya di Indonesia.

Atas berbagai perbedaan prinsip dan pandangan yang ada di antara kita, penting bagi kita untuk meletakkan segala sesuatunya dalam bingkai besar harmoni dan toleransi, serta Bhinneka Tunggal Ika. Sebagai bangsa, kita harus menolak segala upaya yang bertujuan untuk mempertentangkan nilai-nilai Pancasila dengan agama apapun.

Pada sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, negara menjamin hak-hak asasi manusia, termasuk kebebasan untuk menyuarakan pikiran dan gagasan. Namun kebebasan ini harus diikuti dengan sikap yang bertanggung jawab.

Realitas hari ini, kita melihat praktik-praktik yang mempertontonkan kebebasan tanpa batas. Fitnah dan berita bohong (hoaks), seolah menjadi norma dalam kehidupan politik di Tanah Air. Demi meraih kekuasaan, sering seseorang tergoda untuk menggunakan cara-cara yang melabrak etika, serta nilai keadilan dan keadaban, seperti melakukan pembunuhan karakter (character assassination) terhadap kompetitor atau lawan politiknya.

Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Sila ini merupakan pondasi dari rumah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dulu di masa perang kemerdekaan, kita bersatu untuk melawan musuh bersama (common enemy), yaitu penjajahan di bumi pertiwi. Kini di masa damai, persatuan Indonesia dibutuhkan untuk membangun negeri guna mencapai cita-cita dan kepentingan bersama (common interest).

Sayangnya, kita belum mengkapitalisasi energi persatuan itu untuk memenangkan kompetisi antar bangsa yang semakin sengit di abad 21. Justru hari ini, kita seolah tengah menghadapi ujian persatuan dan kebangsaan. Kita mendengar teriakan-teriakan kebencian dan permusuhan antar sesama anak bangsa yang berbeda identitas, baik agama, suku, etnis, maupun pilihan politiknya.

Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, merupakan penuntun kehidupan demokrasi kita. Sila ini memberikan hak kepada rakyat untuk berserikat, mengungkapkan gagasan, serta menghasilkan konsensus atas berbagai isu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam memilih pemimpinnya.

Meskipun di era reformasi telah dilakukan sejumlah koreksi tehadap demokrasi yang kita anut di era sebelumnya, harus diakui, saat ini demokrasi kita belum matang dan sempurna. Kompetisi meraih kekuasaan masih terasa jauh dari semangat adu gagasan, kompetensi dan komitmen antar kontestan.

Lebih sering kita melihat persaingan politik yang kental diwarnai dengan upaya saling menghancurkan karakter seseorang dan pendukungnya. Tanpa sadar, sebenarnya hal ini bisa menjadi sumber konflik dan perpecahan di antara kita. Ekses semacam ini, tentu kontra produktif terhadap tujuan akhir demokrasi.

Selanjutnya sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sebagai bangsa, kita memiliki cita-cita luhur untuk menghadirkan kesejahteraan yang berkeadilan. Cita-cita ini terus diperjuangkan lintas generasi. Namun, kita masih menyaksikan ketimpangan dan ketidakadilan di sana-sini.

Di abad 21 yang sangat kompetitif, tidak jarang kita melihat anak bangsa yang tidak memiliki kemampuan untuk bertahan dan bersaing. Mereka seolah kalah di negerinya sendiri. Belum lagi, persoalan ketidakadilan dalam konteks penegakan hukum. Yang lemah biasanya kalah, yang kuat biasanya menang.

Ketimpangan dan ketidakadilan ini berpotensi pada konflik sosial yang dapat mengganggu stabilitas negeri kita.

Semua persoalan diatas, tentu saja menjadi tanggung jawab kita semua, karena sejatinya Pancasila milik kita semua, bukan hanya milik pemerintah atau golongan tertentu saja. Maka, bersama, kita harus terus rawat, perjuangkan, dan implementasikan Pancasila sebaik-baiknya.

Akhirnya, mari kita jadikan Pancasila sebagai sebuah living ideology. Artinya, agar terus relevan, Pancasila harus diaktualisasikan sesuai dengan semangat awalnya, namun diletakkan dalam konteks kekinian.

Kalau di Abad 20, Pancasila menjadi pilar utama yang mempersatukan bangsa, maka di abad 21 Pancasila lebih dari sekadar itu. Pancasila juga harus mampu menjadi pilar utama untuk menjawab kompleksitas zaman, serta memajukan dan mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia, hari ini dan di masa depan.

*)Alumnus John F. Kennedy School of Government, Harvard University, AS

(Tulisan ini dimuat di koran Rakyat Merdeka)