Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY (facebook)

Oleh: Budi Winarno*)

Wisma Proklamasi Jakarta, 15 Februari 2017 malam. Sejumlah kader dan simpatisan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) berkerumun. Sejumlah wajah menampakkan raut kekecewaan. Sebagian lainnya berteriak-teriak maluapkan kegalauannya. Hasil hitung cepat pemilihan Gubernur Jakarta oleh beberapa lembaga survei, menempatkan AHY yang berpasangan dengan Sylviana Murni, di urutan paling buncit.

Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Syaiful Hidayat unggul, disusul Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Beberapa hari sebelumnya, sejumlah hasil survei justru menempatkan AHY-Sylvi di urutan teratas. Jadi, bisa dibayangkan kegalauan para simpatisan itu.

Malam itu, di tengah kerumunan simpatisan, AHY pun berpidato. Mengagetkan, AHY tidak berbicara mengapa ia gagal meraih suara signifikan. Ia justru mengucapkan selamat kepada Ahok dan Anies. Anak muda ini menunjukkan diri sebagai seorang demokrat sejati. Seorang bibit negarawan.

Inilah politik. Serangan bertubi-tubi memang diarahkan kepada pasangan ini. Berkali-kali Sylvi dipanggil polisi untuk dugaan kasus korupsi pengelolaan dana bantuan sosial di Kwarda Pramuka DKI tahun anggaran 2014-2015.  Sylviana juga dikaitkan dengan kasus dugaan korupsi pembangunan Masjid Al-Fauz di lingkungan Pemkot Jakarta Pusat.

Kemudian tembakan dari terpidana kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnain, Antasari Azhar, sehari menjelang pencobolosan. Antasari menuding SBY berada di balik dugaan rekayasa kasus pembunuhan Nasrudin.  Antasari yang mendapat grasi berupa pengurangan hukuman dari Presiden Jokowi memang merapat ke (partai) penguasa.

Orang lupa jika seseorang mengajukan grasi itu berarti ia sebenarnya mengaku dirinya  bersalah. Namun Antasari muncul seperti tidak bersalah dan media memberitakannya tanpa catatan hukum sama sekali. Antasari seperti orang baru lahir yang tidak memiliki riwayat berdarah-darah. Saat  itu, menjelang pencoblosan, semua hal tersulap menjadi berkonteks politik dan aspek hukum terendam pada kubangan lumpur politik.

Jadi, tidak usah heran ketika semua kasus itu juga menguap begitu hajatan pemilihan kepala daerah usai. Ketika AHY-Sylvi kalah, maka target sudah berhasil. Berhenti pula sejumlah kasus yang sebelumnya digulirkan. Tampak sekali hukum dipakai sebagai alat poliik. Dan AHY terlipat di dalamnya. Mungkin hasil akan menjadi berbeda jika pemilihan gubernur Jakarta berlangsung tanpa politisasi hukum itu.

Meski kalah secara menyakitkan, namun AHY tampaknya mengambil jalan teduh. Ia memilih berbaur dengan rakyat di berbagai penjuru. Apa yang kerap disebut AHY sebagai “gerilya” itu, dilakukan secara intensif meski terkesan senyap.

Hasilnya ternyata mengejutkan. Sejumlah lembaga survei merilis, AHY berada di urutan paling atas untuk posisi calon wakil presiden. Ia seperti sekrup yang siap dipasangkan dengan siapa pun. Tampak bahwa AHY memiliki elastisitas dan akseptailitas politik yang tinggi. Ia diterima siapa pun.

Posisi politik yang baik per hari ini itu perlu dirawat dan ditingkatkan lagi. Wakil presiden adalah target politik yang ideal untuk AHY. Ini tentu  harus diikuti dengan peningkatan kapasitas sehingga pada titik tertentu akan terjadi keseimbangan dan titik temu antara kapasitas dan beban tugas jabatannya (job responsibilities).Kita lihat sejarah wakil presiden kita. Dari Mohamad Hatta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, Umar Wirahadikusumah, Sudarmono, Try Sutrisno, BJ Habibie, Megawati Sukarnoputri, Hamzah Haz, Jusuf Kalla, hingga Boediono,  adalah tokoh-tokoh yang matang dengan jabatan politik maupun pemerintahan/birokrasi sebelum menjadi wakil presiden.

Untuk menambal defisit pengalaman itu, AHY memang harus bekerja keras meningkatkan kapasitas diri. Menjadi Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) untuk Pemilukada 2018 dan Pilpres 2019 adalah salah satu cara. AHY harus terlatih menghadapi persoalan dan aneka benturan politik.

Memang, dari segi intelektualitas, AHY yang lahir 10 Agustus 1978 itu  telah memiliki bekal yang lebih dari cukup. Secara akademis, ia adalah anak muda yang cemerlang. Namun membiasakan menghadapi dan mengatasi persoalan adalah tindak lanjut yang bijak setelah pemenuhan kapasitas intelektual itu.

Sebanyak mungkin dihadirkan di tengah masyarakat adalah sebuah keharusan. Diuji melalui diskusi, seminar, dan panggung politik lainnya adalah proses yang memungkinkan percepatan datangnya kematangan.

Pihak guru besar yang mengatakan “AHY adalah tentara ingusan” tentu akan terkaget-kaget jika dikonfrontasikan dengan AHY dalam satu meja diskusi. Penulis pernah mewawancarai AHY hampir tiga jam, dari usai salat ashar hingga menjelang maghrib. Tiga jam menjadi waktu yang singkat karena AHY mempu menjelaskan pandangannya secara runtut, padat, dan berisi. Ia tidak memiliki kecenderungan untuk bicara berlama-lama tanpa isi. Bahasa yang dipakai sebagai alat pengujaran juga tertib dan diksinya terpilih.

AHY juga orator hebat. Tercatat tiga kali AHY menyampaikan pidato kebudayaan. Pertama dan kedua di Jakarta Teater, 30 oktober 2016 dan Agustus 2017. Terakhir, AHY menyampaikan pidato kebangsaan di Sentul 11 Maret 2018. Dalam ketiga pidato itu, AHY seperti Bung Karno muda yang membara tetapi emosinya tetap terkontrol sehingga materi pidatonya terjamin keruntutannya.  AHY bisa tampil berjam-jam dengan tidak membosankan. Bahkan standing applause kerap ia dapatkan.

Dalam konteks pidato, AHY adalah seorang orator. Dalam konteks penutur, AHY adalah presenter atau host yang baik. Bayangkan jika pidato politik berjam-jam, tidak pernah ada pengulangan wacana atau kalimat yang menjadikan audiens bosan. Apa yang disampaikan juga bisa langsung dimaknai, tanpa perlu ditafsr-tafsirkan.

Kemampuan ini menjadi penting dikuasai seorang tokoh karena kemampuan berpidato/bertutur akan memberi wajah pada bangsa ini di forum internasional. Apalagi, ke depan, panggung politik dunia akan semakin dipengaruhi oleh kepintaran berdiplomasi. Soft power akan lebih digdaya ketimbang moncong senjata, bedil terkokang,  dan sejenisnya.

*)Wartawan tinggal di Bekasi