Oleh: Haidar Majid*)
Dalam banyak hal, kompetisi sering tak terhindarkan. Kompetisi yang menghadirkan rivalitas, juga sering tak terelakkan. Rivalitas yang berujung pada saling mengeksplor kemampuan dan mengeksploitasi kelemahanan lawan pun kadang membayangi sikap. Tundukkan, taklukkan dan kalahkan lawan mendominasi alur fikir dan prilaku.
Berbagai cara bisa dilakukan untuk menang. Ada cara yang biasa-biasa saja, ada juga yang ‘luar biasa’. Ada yang berprinsip kalah atau menang itu biasa, ada pula yang menganggap “menang” adalah segala-galanya dan “kalah” menjadi akhir segalanya. Sangat bergantung pada perspektif, sangat ditentukan oleh orientasi untuk apa berkompetisi dan apa sikap setelah kalah atau menang menjadi realita.
Karena prinsip berlebihan terhadap urusan “kalah atau menang”, seringkali membuat si pemenang merayakan kemenangan di koridor euforia tak terkendali. Memposisikan mereka yang kalah di titik terendah dan menempatkan dirinya di tempat yang lebih mulia, sangat mulia.
“Lihat nih, gue menang”. “Kan dari dulu saya bilang, kamu tuh gak ada apa-apanya”. “Rasakan, gimana pahitnya menelan pil kalah”.
Sebaliknya yang kalah tak mau ‘ketinggalan’, ‘ogah dipermalukan’, tak tinggal diam dan menyerang si pemenang.
“Ah, kalau begitu caranya, siapapun bisa menang”. “Menangnya tidak terhormat”, “eh, kok bisa ya?”
Tidak sampai disitu, tak jarang kita temukan, mereka yang kalah sama sekali enggan menerima kekalahan. Dan cara efektifnya adalah mengungkit-ungkit kelemahan si pemenang atau di titik ekstrimnya, justru saling menyalahkan di antara mereka.
Pertanyaannya, harus begitukah sebuah kompetisi berlangsung, dimana yang menang menjadi lupa diri dan yang kalah tak ingin ketinggalan untuk juga lupa diri? Padahal di setiap kompetisi akan dimulai, selalu saja diawali dengan deklarasi “siap kalah, siap menang”. Bahkan untuk menjustifikasi kesiapan itu, para peserta kompetisi tak lupa membubuhi tanda tangan isi deklarasi tersebut.
Semua dengan lantang berkata “kami siap kalah dan kami siap menang”. Bukan saja calon yang berkata begitu, tetapi juga para pendukung dan mungkin juga para buzzer. Pada kenyataannya, deklarasi yang dimaksud kebanyakan tidak lebih sekedar seremoni. Yang menang tetap saja tidak “siap”, terlebih bagi yang kalah. Keduanya ‘ingkar’ terhadap apa yang telah diucapkannya.
Padahal kompetisi seperti itu beranjak dari titik start yang sama, “ingin memperbaiki”, “mau membangun”, “berkehendak menyempurnakan”, semua baik, semua bersemangat dan semua sempurna. Lantas kenapa di titik tertentu semua berubah? Lantas kenapa di perjalanan, ada yang melenceng? Lantas apa yang membuat arah itu bergeser haluan?
Begitulah jika “kepentingan” lebih dominan, kepentingan yang menaklukkan “niat tulus”, kepentingan yang mengedepankan “harus menang”, sehingga kalah merupakan ‘aib’, sesuatu yang harus dihindari apapun caranya. Kepentingan yang bisa “menghalalkan semua cara” dan kepetingan yang bisa “membuat lupa” akan komitmen yang telah dipersepakati.
Seringkali kompetisi yang berlangsung ‘keras’ dan ‘kasar’ tidak berakhir pada ujung kompetisi itu sendiri. Saling “mengejek”, saling “menjelek-jelekkan”, saling “cari kelemahan”, saling “tuding-menuding”, terus berlangsung, tanpa batas, tanpa akhir. Tak ada yang mau “salah”, semua merasa benar. Tak ada yang mau “meminta maaf”, semua merasa diri “pemberi maaf”. Dan ini yang paling fatal, semua mau “menang”, tak ada yang rela “kalah”.
Harusnya, setiap kompetisi berakhir, maka berakhir pulalah semua proses. Pemenang memberi penghargaan kepada yang kalah dan yang kalah mengapresiasi pemenang. Pemenang menyambut dan menggandeng tangan yang kalah dan yang kalah siap membantu yang menang. Apa yang pernah diikrarkan untuk “siap kalah dan siap menang”, dibuktikan di ujung kompetisi. Semua merasa nyaman, semua merasa lega, semua menjadi legowo, karena kalah dan menang bukan tujuan, tetapi hanya sebuah “fase” dalam kompetisi.
Makassar, 25 April 2017
Salam #akumemilihsetia
*)Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan