Setelah DPR melakukan pengesahan Perppu menjadi UU Ormas, Demokrat bergerak cepat. Setelah Presiden Joko Widodo menyetujui usulan perubahan, mereka segera melakukan pembahasan. Para kader partai bintang mercy ini berjibaku merumuskan draf revisi. Keinginan mereka mengubah UU yang dianggap tidak adil dan bisa membuka ruang kesewenangan penguasa itu, tidak hanya sekedar pencitraan belaka.
Sejak awal Demokrat memang sudah terang-terangan menolak UU yang berasal dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Ormas itu. Apalagi SBY selama ini selalu berupaya memperbaiki demokrasi di negeri ini. Selama 10 tahun memimpin bangsa, demokrasi di Indonesia berhasil mencapai taraf tertinggi sejak negara ini ada. Wajar saja ia menentang hal-hal yang bisa mencederai capaiannya di masa lalu.
Namun, untuk mementalkan Perppu itu menjadi UU Ormas, bukan pekerjaan gampang. Kita semua tahu, pemerintah di-back-up penuh oleh mayoritas partai politik di parlemen. Parpol oposisi selalu kalah suara. Sudah ada dua contoh nyata, pengesahan UU Pemilu dan pembentukan Pansus Angket KPK. Penolakan dari empat parpol yang tidak sependapat dengan penguasa, Demokrat, Gerindra, PKS dan PAN, nyaris tidak artinya. Suara mereka tenggelam oleh kedigdayaan enam parpol pro pemerintah yang menguasai Senayan.
Karena itu, dicarilah solusi agar aturan ini bisa diperbaiki. Strategi yang paling memungkinkan adalah take and give. Demokrat mau menuruti kehendak pemerintah dan parpol pendukungnya, tetapi mereka juga harus menerima permintaan Demokrat agar UU Ormas itu direvisi. Ini adalah win-win solution. Pemerintah tidak kehilangan muka karena UU tetap berlaku, namun demokrasi tetap berjalan lantaran aturan itu mesti segera disempurnakan. Dan, satu lagi kabar bagusnya adalah selama proses revisi, UU Ormas itu tidak bisa digunakan.
Banyak yang bertanya, jika Demokrat menganggap isi Perppu Ormas tidak adil dan berbahaya bagi bangsa, kenapa diterima sebagai UU? Kenapa tidak menggunakan UU yang lama saja? SBY telah menjawab hal ini. UU yang baru mengandung sejumlah aturan yang lebih baik dari UU lama, tetapi juga memiliki banyak kekurangan. Karena itu harus dilakukan perbaikan agar menjadi peraturan yang jauh lebih baik.
Berikut perbandingkan beberapa poin penting antara UU 17/2013 dengan UU hasil Perppu 2/2017 dan usulan revisi dari Demokrat:
1. Landasan filosofis dan sosiologis pembentukan UU 17/2013 menggunakan pendekatan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Sementara Perppu 2/2017 pendekatannya perlindungan kedaulatan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Usulan revisi mengkombinasikan keduanya, pendekatan perlindungan HAM dan kedaulatan Negara, serta menghapus asas cantrarius actus.
2. Pada ayat 4 huruf c Perppu 2/2017 terdapat frasa, “Menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.” Pertanyaannya, apa ukuran pelanggaran Pancasila? Kapan dianggap bertentangan dengan Pancasila? Aturan itu akan sulit diterapkan dan juga tidak tepat penilaian diserahkan kepada kementerian. Karena itu Demokrat berpendapat penilaian itu harus diserahkan kepada fungsi peradilan.
3. Pada UU 17/2013, sebelum menjatuhkan sanksi dilakukan pendekatan persuasif dengan semangat pembinaan. Di Perppu 2/2017 pendakatan itu dihapus. Dalam revisi semangat pembinaan ini kembali dihidupkan, yang kemudian diatur dalam beberapa norma.
4. Pada UU 17/2013 tidak ada sanksi pidana kepada ormas, tetapi dalam Perppu 2/2017 ada, dan tidak pula memberikan kualifikasi akan sanksi yang dijatuhkan. RUU meminta norma itu dihapus dan diganti dengan sanksi administratif.
5. Pada UU 17/2013, menggunakan peringatan tertulis sebanyak tiga kali dengan jangka waktu 30 hari, sementara Perppu 2/2017 peringatan tertulis hanya satu kali dengan jangka waktu tujuh hari kerja. RUU tidak mengubah norma ini karena memandang pemerintah butuh legalitas untuk bertindak cepat dalam konteks menjaga ketentraman dan ketertiban.
6. Demokrat meminta pasal 63 sampai 69 UU 17/2013 yang dihapus dalam UU Ormas yang baru, dihidupkan kembali. Karena aturan itu merupakan nilai-nilai demokrasi; adanya pemisahan kekuasaan yang menghendaki check and balances (saling kontrol dan mengawasi) serta konsep negara hukum; supremasi hukum di atas kekuasaan.
7. Norma pada pasal 64 UU 17/2013 yang dihilangkan dari Perppu 2/2017, merupakan elaborasi dari prinsip negara hukum; due process of law, demokrasi dan perlindungan HAM. Norma pasal ini juga mempertegas lembaga yang dapat memberikan sanksi administratif harus memiliki peran dalam pembuktian. Sebab ormas diberi hak untuk membela diri dengan memberikan keterangan dan bukti di persidangan. Pasal ini tidak bisa diabaikan.
8. Terkait penjatuhan sanksi, Demokrat meminta perubahan pada pasal 82A guna mempertegas tingkatan, berupa administratif, pidana dan tambahan. Sanksi administratif terdiri dari peringatan tertulis, penghentian bantuan, pembekuan kegiatan dan pencabutan status badan hukum. Untuk pidana, menggunakan sistem ancaman minimum khusus yang disebutkan dalam norma pasal, namun sistem ancaman maksimum khusus yang merujuk pada KUHP, yakni paling lama 20 tahun.
Inilah yang diperjuangkan Demokrat. Meski dicibir, dibilang plin-plan, abu-abu, tidak konsisten memperjuangkan demokrasi dan kebebasan rakyat, tetapi hasil perjuangan itu akhirnya terlihat. Bisa dinikmati rakyat Indonesia. Bandingkan saja dengan tiga parpol yang menolak. Mereka tak bisa berbuat apa-apa, karena tidak memiliki posisi tawar dalam perbaikan aturan. Agak disangsikan niat mereka memperjuangkan nasib rakyat, karena yang tampak lebih banyak pencitraan dibanding kerja nyata.
Jadi, dalam perkara ini kita mesti angkat topi untuk Demokrat, meski rela di-bully kanan kiri, tetapi konsistensi mereka dalam memperjuangkan demokrasi ternyata tak bertepi. Salut.
(Muhammad Fatih/politiktoday.com)