Ketua Kogasma Pemenangan Pemilu Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (ist/politiktoday)

Sejarah mencatat, gerakan perubahan di republik ini selalu dimulai dari dorongan kelompok muda. Lihat saja Proklamasi Republik Indonesia pada tahun 1945, sekelompok golongan muda mendorong Soekarno (kelompok tua) untuk menyegerakan proklamir kemerdekaan Indonesia tanpa harus kompromi dengan pihak penjajah. Gerakan ini sukses menjadi hari yang sakral sebagai hari lahirnya republik ini.

Begitu juga semangat reformasi. Manifestasi kaum muda intelektual sangat nyata dalam gerakan ini. Gerakan yang diawali dengan dialog kebangsaan dari ruang-ruang diskusi hingga turun ke jalan merupakan bukti konkret bahwa kelompok muda menjadi poros perubahan untuk menentukan arah negeri ini. Begitu juga dengan Pilpres 2014, suatu proses politik yang mengantarkan Jokowi menjadi presiden sebagai representasi kekuatan generasi mileneal menghadapi Prabowo yang merupakan generasi transisi orba.

Kenapa harus kaum muda?

Dalam bukunya “Dunia yang Dilipat”, Yasraf Amir Piliang mengandaikan dunia hari ini bagaikan lipatan kertas origami. Satu sisi kertas dapat bertemu dengan ujung kertas yang lainnya. Termasuk di dalamnya pertemuan budaya. Pelipatan kertas itu menimbulkan proses dan relasi yang kompleks serta bersifat multidimensi dan multibentuk.

Kompleksitas ini didukung dengan sarana teknologi, komunikasi dan informasi yang berkembang pesat. Bahkan kecepatan teknologi, komunikasi dan informasi ini sering kali menempatkan manusia berada di belakangnya. Ketertinggalan ini lebih disebabkan relasi kekuasaan (power relation) yang menempatkan formasi wacana (discourse formation) dalam subjektifitas.

Dengan latar belakang itu, mengapa isu pemimpin muda muncul kepermukaan. Pemimpin muda dianggap mampu menjawab kebutuhan manusia hari ini yang cepat dan bebas gerak tanpa hambatan. Pemimpin muda juga dianggap mampu mendobrak sistem feodal yang dianggap sudah relevan pada zaman ini.

Di beberapa negara, kebutuhan tersebut sudah terjawab. Seperti contohnya di Austria, di usianya yang baru menginjak 31 tahun ia mampu menjadi Perdana Menteri. Begitu juga dengan Perancis, presidennya hari ini, Macron saat terpilih baru berusia 39 tahun. Dan juga ada Justin Trudeau tokoh muda Kanada yang diduga berketurunan Indonesia ini juga merupakan seorang Perdana Menteri.

Menariknya, Habibie juga mengatakan bahwa pemimpin Indonesia di 2019 hendaklah generasi muda. Karena generasi peralihan menurutnya sudah habis masanya. Walaupun tidak sebut nama orang per orang, tapi Habibie menginginkan pemimpin masa depan Indonesia berasal dari seorang “survival politicion”.

AHY dalam Pusaran Politik 2019

Jika merujuk pada fakta di atas, maka nama Agus Harimurti Yudhoyono cukup relevan. Selain umurnya yang muda, AHY merupakan “survival politicion” seperti yang dikatakan eyang Habibie. Ia berani meninggalkan jabatan dan kemapanannya untuk sebuah misi besar, yaitu pengabdian untuk negeri.

Banyak yang meragukan kemampuan AHY dalam bidang pemerintahan karena umurnya yang dikatakan masih seumur jagung. Tapi gagasan AHY tentang Indonesia Emas menjadi jawabannya kepada para pengkritiknya. Bukankah Jokowi dulunya juga hanya pengusaha meubel? Siapa sangka Jokowi jadi presiden.

Para pengkritik yang tidak bisa memberikan andil memang ditugaskan menggiring opini untuk membunuh semangat kaum muda untuk berprestasi. Ada ketakutan jika kaum muda memimpin negeri ini maka semua infestasi yang sudah ditanam dari dulu akan habis begitu saja. Kedekatan kelompok muda dengan teknologi tentunya menjadi ancaman keompok tua yang selama ini berada dalam tatanan birokrasi yang korup. Untuk itulah mereka mencoba mematikan semangat ini.

Satu hal yang pasti. Semangat muda itu tidak dapat dibendung. Sekali ikrar terucap maka selamanya langkah itu akan ditempuh. Jadi atau tidaknya AHY maju di Pilpres 2019, tidak patut bagi kita untuk mematikan api semangat yang ada di dalamnya. Jika para pengkritik hari ini menyangsikan pengalamannya, mari kita bantu ia untuk menjadi lebih baik. Bukan sebaliknya, berlindung dibalik anonimus tanpa ada bukti nyata pengabdian selain mencaci maki dan mengadu domba setiap harinya.

(Berry Salam, Pegiat Masyarakat Berkeadilan/PolitikToday/dik)