Oleh: Jansen Sitindaon SH MH*)
Praperadilan adalah sarana untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya setiap upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik. Mulai dari sah tidaknya PENANGKAPAN, PENAHANAN (Pasal 77 huruf a KUHAP) dan yang terbaru berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 juga menguji sah atau tidaknya PENGGELEDAHAN, PENYITAAN dan PENETAPAN TERSANGKA.
Itulah wewenang Praperadilan di KUHAP dan perluasannya sebagaimana Putusan MK No.21/2014. Dikatakan praperadilan ini adalah semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik.
Putusan Praperadilan PN Jaksel ini tidak masuk baik di ketentuan KUHAP maupun perluasannya dalam putusan MK di atas. Pertanyaannya sekarang dimana kita akan meletakkan putusan ini dalam pranata aturan hukum kita. Itu maka kami katakan putusan ini telah menabrak aturan hukum yang ada. Putusan ini cacat hukum. Karena cacat maka tidak perlu dijalankan.
Kalau tadi putusan menabrak hukum sejenis ini dilakukan di pengadilan yang jauh dari Jakarta okelah. Kita maklum. Mungkin akses terhadap informasi dan para ahli hukum jauh. Ini kan di Jakarta, bertabur para ahli hukum yang bisa dipanggil ke persidangan sebelum putusan diambil. Dan juga PN Jakarta Selatan ini jaraknya kan hanya sepelemparan batu saja dari kantor Mahkamah Agung. Bisa juga konsultasi ke sana, bertanya ke hakim yang lebih senior. Sebagai instusi yang mengawasi produk peradilan, termasuk putusan ini, kami meminta MA serius meluruskan kesalahan ini. Karena putusan yang berisi perintah agar KPK menetapkan tersangka baru ini jelas di luar kewenangan praperadilan.
Wewenang praperadilan dan beberapa perluasannya kan sudah jelas diatur di KUHAP dan putusan MK diatas. Praperadilan itu kompetensinya hanya soal keabsahan upaya paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut. Meliputi menangkap, menahan, menggeledah dan menyita serta menguji penetapan seseorang sebagai tersangka. Bukan malah terbalik hakim Praperadilan menjadi meminta seseorang ditetapkan menjadi tersangka. Logikanya, kalau seseorang itu nantinya ditetapkan menjadi tersangka oleh penyidik karena putusan ini, maka orang ini menjadi tidak bisa lagi dong menguji status tersangkanya ini ke praperadilan. Karena itu sudah perintah hakim praperadilan. Atau dia menguji pun sekalipun sudah tidak ada gunanya, karena status tersangkanya itu adalah karena perintah pengadilan. Kan jadi aneh. Padahal itu adalah hak tersangka berdasarkan putusan MK. Jadi Mahkamah Agung sebagai institusi yang bertanggung jawab harus segera meluruskan putusan praperadilan ini. Mungkin ada yang mengatakan putusan ini progresif. Tapi ini jenis progresif yang merusak.
Kontak: 081.2238.22240
*)Ketua Departemen Pemberantasan Korupsi dan Mafia Hukum DPP-PD; Komunikator Politik Partai Demokrat