Oleh: Ferdinand Hutahaean*)
Selamat untuk Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, atas penganugerahan sebagai Bapak Demokrasi oleh PWI di Jawa Timur hari ini 29 Maret 2017._
Anugerah yang diterima oleh SBY, hari ini, sebagai Bapak Demokrasi tentu bukan anugerah yang biasa-biasa saja. Namun sebuah anugerah yang diberikan PWI dengan segala macam alasan, kriteria, barometer dan berbagai penilaian.
PWI adalah perkumpulan, yang tentu bukanlah partisan politik apalagi menjadi partisan Demokrat. Mereka adalah insan-insan yang mandiri, independen dalam bersikap dan bertindak, sehingga pemberian anugerah tersebut adalah pemberian anugerah yang jujur, independen dan tidak dipengaruhi sikap apa pun dari luar PWI.
Sikap dan pendirian SBY yang teguh menjaga dan mengawal demokrasi tentu menjadi alasan utama mengapa PWI memberikan anugerah Bapak Demokrasi kepada SBY. Dari sejak berkarier di militer maupun hingga menjabat sebagai Presiden, SBY menunjukkan sikap tegas dan teguh untuk mengawal dan menumbuhkan demokrasi. SBY dalam perjalanan hidupnya selalu menempatkan demokrasi adalah alat yang memastikan bahwa rakyatlah yang berdaulat di dalam negara. Rakyatlah tuan atas demokrasi, dan pemerintahan yang lahir dari demokrasi adalah pelayan bagi rakyat, pemimpin bagi rakyat, bukan penguasa yang berhak dan bebas melakukan apapun.
Bagi SBY, demokrasi adalah tegaknya kedaulatan rakyat, sehingga demokrasi harus dilakukan secara beretika, bermoral dan beradab. Demokrasi harus memenuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang menjunjung tinggi etika politik dan menjunjung tinggi hak otoritas demokrasi rakyat. Itulah sikap SBY terkait demokrasi yang kami dapat dari beberapa kali diskusi dengan SBY.
Demokrasi bukanlah menang-menangan, demokrasi bukanlah alat yang bertujuan menjadi penguasa, tapi demokrasi bertujuan menegakkan kedaulatan rakyat dan menempatkan pemerintah menjadi pemimpin yang menjadi pelayan rakyat. Demikian SBY pernah menyampaikan pemikirannya tentang demokrasi dalam sebuah sesi diskusi bersama kami.
Demokrasi telah diterapkan dengan baik selama perjalanan hidupnya hingga kini memimpin Partai Demokrat, sebuah partai yang didirikan SBY dan menjadi partai pengusung SBY dalam pemilihan Presiden 2004 lalu. SBY melakukan praktek demokrasi yang tidak tercela. Meski menghadapi petahana saat itu Megawati Soekarno Putri, namun SBY mampu memenangi kontestasi pilpres tersebut dengan baik, dengan demokrasi penuh etika. Bahkan saat Pemilu Presiden 2009, SBY sebagai petahana juga memenangi pilpres dengan suara maksimal mengalahkan kandidat lainnya. Kemenangan itu semakin sempurna karena pada saat pemilu 2009 tidak terdengar adanya kecurangan yang dilakukan SBY sebagai calon petahana.
“Ketika dulu saya menjadi presiden, saya instruksikan kepada TNI, Polri dan BIN untuk netral,”begitulah pernyataan SBY yang kami kutip dari buku wawancara Imelda Sari dengan SBY yang berjudul “Awas Segelintir Orang Bisa Bikin Presiden Salah”. Sebuah bukti bahwa SBY tidak ingin mengotori demokrasi dengan campur tangan kekuasaan.
Penerapan demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai tuan atas demokrasi dan pemimpin sebagai pelayan, benar-benar diterapkan SBY yang terlihat dari kebijakannya. Terhadap utang luar negeri, SBY sangat hati-hati dan cenderung berutang hanya untuk membantu meringankan kehidupan rakyat yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Dalam pemerintahannya, SBY memberikan subsidi dan BLT serta PNPM bagi rakyat, karena rakyat sebagai tuan atas demokrasi harus dilayani dan dibantu.
Berbeda dengan situasi sekarang. Subsidi rakyat dicabut, utang bertambah pesat. Utang kurang tepat sasaran dan tidak punya skala prioritas menentukan kebijakan. Mungkin itulah dampak dari seorang pemimpin yang merasa penguasa bukan pelayan. Rakyat dipaksa tunduk dan mengikuti maunya pemerintah.
Belum lagi kemelut tax amnesty di tengah rakyat yang menjadi beban bagi rakyat. Rakyat bersusah payah mencari kehidupan, dengan mudahnya pemerintah mengambil bagian hanya karena memiliki kekuasaan. Keadilan kemudian menjadi dipertanyakan. Demokrasi yang harusnya mewajibkan negara hadir untuk rakyat menjadi terbalik: rakyat dipaksa hadir untuk negara.
Demikian juga sikap SBY dan Demokrat dalam Pilkada DKI Jakarta yang memasuki putaran final. Demokrasi dalam pilkada ini menjadi demokrasi kurang baik. Menjadi demokrasi yang semakin jauh dari ruh demokrasi. Rakyat dengan kedaulatannya menjadi hilang. Rakyat tidak lagi menjadi tujuan demokrasi, tapi kekuasaan menjadi tujuan utama.
Demokrasi tidak sehat yang surplus dengan isu primordialisme menjadikan sikap SBY dan Demokrat berada di luar gelanggang dan menjadi penjaga demokrasi. SBY dan Demokrat tidak ingin masuk dalam demokrasi yang tidak sehat, maka SBY dan Demokrat memilih untuk menjaga dan merawat demokrasi yang bertujuan untuk kesejahteraan rakyat bukan yang semata bertujuan kekuasaan.
Itulah SBY dan Demokrat dengan sikapnya di mata saya. Meski sikap tersebut menjadi kontroversi di tengah publik, namun SBY dan Demokrat telah memilih sikap menempatkan demokrasi hanya bertujuan menyejahterakan rakyat. Bukan sekadar menang-menangan dan mengejar kekuasaan.
Selamat untuk SBY dan Demokrat yang mampu bersikap dan berani mengambil risiko demi kedaulatan rakyat. Demi tegaknya demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai tujuan, bukan menempatkan rakyat sebagai alat demokrasi.
Sekali lagi, selamat untuk Bapak SBY yang meraih anugerah sebagai Bapak Demokrasi. Tetaplah setia menjaga demokrasi dan menjadi benteng demokrasi.
Jakarta, 29 Maret 2017
*)Pimpinan Rumah Amanah Rakyat, Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia.
(RMOL/dik)