Oleh: Jansen Sitindaon*)

“Menang jangan arogan mari membangun bersama-sama. Yang menang memimpinlah dengan hati bukan dengan sesuka hati. Ajak semua berpikir, semangat mengalahkan bukan segala-galanya.”

Itulah kata-kata yang kau ucapkan ketika membuka Muscab Demokrat serentak se-Pulau Timor, Sabu, Alor, dan Rote Ndao, di Hotel Ima, Kota Kupang, Maret 2017 yang lalu, Jenderal. Dengan menggelegar kau menyampaikannya dan meresap ke dalam diri kader.

Banyak sudah kota di Indonesia ini yang telah kita jalani untuk menyelesaikan tugas-tugas partai. Aku masih ingat, kita pernah naik ATR menuju Gewayantana, Larantuka untuk melaksanakan Muscab di sana. Sepanjang perjalanan pesawat kita terguncang dan beberapa kali turbulensi karena turun hujan.

Kau berkata, “untunglah pilotnya ini bernyali sehingga kita tak perlu balik ke El Tari”, namun kami pasukanmu ini yang tak bernyali Jenderal. Dan kau menguatkan kami. Akhirnya kita mendarat di Larantuka dengan selamat dalam keadaan hujan deras. Dengan mimikmu yang khas itu, kau tersenyum ke kami yang masih ketakutan.

Dan banyak lagi kota-kota serta Provinsi di Indonesia ini yang telah kita jalani dengan berbagai kenangan dan tantangannya masing-masing, demi menegakkan panji-panji Demokrat tetap eksis di seluruh tempat di Indonesia ini. Dari Simalungun, Pontianak, Banten, Jabar, Riau dan banyak lagi tempat lainnya. Semua misi itu tuntas kita laksanakan di bawah bimbinganmu.

Dari banyak Muscab yang kau percayakan untuk kupimpin, satu yang sampai sekarang terkenang, ketika kau memintaku menuntaskan Muscab Pandeglang yang baru bisa dilaksanakan pukul 1 dini hari. Sepanjang aku mengikutimu inilah Muscab terlarut dan “terpanas” dengan berbagai dinamikanya yang pernah kita lakukan.

Kau mengatakan “tuntaskan Pandeglang itu apa pun risikonya, jangan karena itu, tugas kita di tempat lain terganggu, aku menjagamu di belakang”.

Karena paginya, tak bisa ditunda — bersama seluruh rombongan — kita harus terbang lagi ke Pontianak untuk melaksakan Muscab untuk seluruh Kalbar.

Darimulah aku belajar soal keberanian dan harus menuntaskan setiap misi apapun risikonya. Tak boleh ada yang ditunda sepanjang semua terukur untuk diselesaikan saat itu juga. Aku berterimakasih padamu untuk itu, Jenderal.

Di Kupang kau pernah berkata dihadapan semua kader:

“Ingat! Kupang ini kota karang. Hatimu juga harus seperti karang, setia pada Demokrat! Setiap kader harus setia menjadi karang-karang Demokrat yang tak akan goyah sedikitpun. Di tengah badai dan gelombang politik apa pun yang mungkin saja akan datang menghantam partai ini.”

Sebuah pesan sangat kuat darimu yang akan terus kami kenang. Kalimat abadi yang jangkauannya bukan hanya bagi kader di NTT saja, namun bagi kami semua kader Demokrat di seluruh Indonesia ini.


Terkadang pertemuan dan perpisahan terjadi terlalu cepat. Namun kenangan dan perasaan tinggal selamanya.

Demikianlah aku dengan dirimu, Jenderal. Aku hanya diberi Tuhan kesempatan mengenalmu tak lebih 5 tahun. Sangat cepat. Namun kenangan atasmu akan tinggal selamanya. Aku sungguh bersyukur kepada Tuhan atas pertemuan denganmu yang sesaat ini. Di generasiku dan di generasi yang akan datang aku akan berkata dan bercerita dengan lantang bahwa aku pernah mengenal seorang Jenderal Pramono Edhie Wibowo, namanya. Yang telah mengajarkanku banyak hal membuatku seperti saat ini.

Seperti kata Bung Hatta, ketika mengenang sahabatnya Tjipto Mangunkusumo, sejarah hidupnya mudah diterangkan: jujur, setia, ksatria, berjuang, berkorban. Seperti itulah aku akan mengenangmu, Jenderal.

Selamat jalan, Pak PEW, tenanglah di keabadian. Jangan lupa sampaikan salam kami ke Ibu Ani, Pak. Lihat dan teruslah perhatikan kami dari atas sana. Karena kami semua sesungguhnya belum siap untuk kalian tinggalkan.

Dari kami semua, kader Demokrat yang akan selalu merindukan kalian berdua.

Selamat jalan… dan terima kasih atas semua bimbinganmu, Jenderal…

*)Wakil Sekjen Partai Demokrat
(Anak kampung dari Sidikalang yang selama 5 tahun pernah kau didik, Jenderal)