Oleh M.A. Hailuki, MSi*)
Rasanya bosan kita mendengar lagi kabar tentang inkonsistensi kebijakan pemerintah di era ini. Rasanya juga, sejak awal pemerintahan Presiden Jokowi selalu saja ada kegaduhan di antara para menteri, selalu saja terjadi silang pendapat di antara anggota kabinet.
Kebijakan yang belum matang, yang semestinya masih digodok di dapur istana terburu-buru dihidangkan ke meja publik. Akibatnya menjadi kontroversi, acap kali pemerintah terpaksa menjilat ‘ludahnya’ sendiri. Ibarat pepatah, “Pagi kedele, sore tempe.” Kebijakan yang sudah kadung dibuat berubah, tak lama kemudian diubah.
Yang terbaru adalah perihal dibatalkannya pembebasan Abu Bakar Ba’asyir oleh pemerintah akibat menuai pro-kontra di kalangan internal Istana sendiri dan pendukung Presiden Jokowi. Padahal sebelumnya di sela kunjungan ke Ponpes Darul Arqam, Garut, Jawa Barat pada Jumat (18/1/2019), Presiden telah menyatakan menyetujui Ba’asyir dibebaskan dengan alasan kemanusiaan.
Bahkan Presiden menegaskan, keputusan membebaskan Ba’asyir telah melalui kajian yang panjang dan mendalam oleh jajaran pemerintahan. (Kompas, 18 Januari 2019). Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin, yang juga calon wakil presiden, pun memuji langkah Presiden Jokowi tersebut. Menurutnya, kebijakan itu merupakan sikap inisiatif Presiden tanpa desakan siapapun.
Tapi hanya berselang tak sampai sepekan, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyatakan pemerintah batal membebaskan Ba’asyir dengan pertimbangan hukum formil yang tak bisa dipenuhi, (Kompas, 22 Januari 2019). Mendengar perubahan itu, Ba’asyir, sang kakek tua renta hanya berkomentar singkat, “Kok jadi begini?”
Seperti yang saya katakan di muka, ini bukan pertama kali terjadi di era Presiden Jokowi. Publik masih ingat, pada tahun pertama pemerintahan ini kita dihebohkan oleh rencana pemerintah menghapus kolom agama di KTP. Kementerian Dalam Negeri yang memiliki ‘ide liar ‘ini mendapat penolakan dari Kementerian Agama. Lantaran mendapat reaksi keras dari berbagai pihak akhirnya rencana penghapusan kolom agama dibatalkan.
Begitu juga terkait penghapusan aturan pekerja asing wajib berbahasa Indonesia sempat dihapus pemerintah pada 2015, namun karena menimbulkan keresahan di masyarakat tentang terlalu mudahnya pekerja asing masuk ke Indonesia kemudian pada 2018 aturan bahasa Indonesia tersebut diterapkan kembali.
Dan yang tak kalah membuat kita miris adalah tatkala pemerintah telah mengumumkan secara resmi penaikan harga bahan bakar premium pada 10 Oktober 2018 tepat pukul 18.00 namun tak sampai satu jam kebijakan itu diubah kembali oleh pemerintah. Terlepas dari segala pertimbangan, kebijakan negara yang berubah-ubah dalam waktu singkat merupakan inkonsistensi.
Sehingga jangan salahkan apabila publik menilai pemerintahan ini tidak profesional bekerja, tidak cakap membuat keputusan. Terlebih, ucapan kepala pemerintahan merupakan sabda pandita ratu yang harus dipertimbangkan matang-matang, tidak boleh grasak-grusuk. Para pembantu presiden pun semestinya memberikan masukan yang tepat agar keputusan Presiden bulat.
Maka tak ada salahnya kita belajar dari Presiden SBY dalam mengelola pemerintahan selama sepuluh tahun. Meski oleh sebagian pihak dituding sinis seolah peragu, namun SBY selalu konsisten tak goyah dalam keputusannya. “Satu hal yang sering harus dilakukan oleh seorang pemimpin termasuk presiden, yaitu keberanian untuk melawan arus.” (SBY: Selalu Ada Pilihan, 2014).
Bahkan menjadi ketabuan apabila para menteri silang pendapat secara terbuka di ruang publik mengenai kebijakan yang akan diambil pemerintah. Ada 12 butir kode etik yang jadi pegangan para menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Sehingga setiap kebijakan di era pemerintahan SBY diputuskan secara matang dan terukur.
Sudah tentu keputusan era Presiden SBY tidak grasak-grusuk seperti sekarang ini. Seperti kata Menko Polhukam Wiranto dalam menyikapi rencana pembebasan Ba’asyir, “Presiden kan tidak boleh grasak grusuk, jadi ya harus pertimbangkan aspek lain.”
Inkonsistensi yang berseri di era pemerintahan Jokowi ini seolah8 telah menjadi tabiat yang melekat. Semoga rakyat dapat melihat. ***
*)Penulis adalah Kader Muda Partai Demokrat & Tenaga Ahli DPR-RI