Oleh: Agus Harimurti Yudhoyono; Ketua Umum Partai Demokrat
 
Tak terasa, kita sudah memasuki pekan ketiga Ramadhan 1442 H. Ini Ramadhan kedua yang kita jalani di tengah pandemi Covid-19.

Nuansa Ramadhan yang dulu kita rayakan dengan gegap gempita, juga penuh kebersamaan dan silaturahmi yang erat tanpa jarak, kini harus kita jalani dengan kesadaran tinggi untuk senantiasa mematuhi protokol kesehatan.

Vaksinasi telah bergulir, tetapi belum bisa menjangkau semua. Artinya, kita masih harus bersabar dan disiplin menjaga jarak, mengenakan masker, serta menjaga kebersihan masing-masing sebagai ikhtiar melawan pandemi dan menjaga keselamatan diri.

Dengan tetap menjalankan protokol kesehatan ketat, pekan lalu saya menyempatkan diri bersafari Ramadhan 1442 H di lima provinsi. Mulai dari Aceh, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Nusa Tenggara Barat (NTB).

Dalam perjumpaan dengan masyarakat, saya merasakan hangatnya sambutan dan antusiasme mereka.

Saya terharu sekaligus kagum atas kuatnya “resiliensi masyarakat” kita, semangat hidup mereka dalam menghadapi pandemi Covid-19 berkepanjangan, tekanan ekonomi yang cukup dalam, hingga dahsyatnya bencana alam.

Banyak di antaranya yang hidupnya sulit, tetapi masih tersisa senyum optimis untuk bangkit.

Harapan mereka sederhana: kehadiran negara dan para pemimpinnya, serta kepedulian dan uluran tangan sesama anak bangsa yang berkecukupan dan berkelebihan.

Silaturahim tersebut seolah membukakan mata batin kita tentang hikmah persatuan, baik persatuan sesama umat Islam, sesama anak bangsa lintas ras, suku dan agama, maupun pada akhirnya, persatuan dalam nilai luhur kemanusiaan yang sama.

Membangun peradaban

Upaya untuk semakin memahami hikmah Ramadhan ini kian terbuka, tatkala kita berkesempatan melewati malam 17 Ramadhan, yang selama ini kita pahami sebagai Nuzulul Quran atau malam diturunkannya Alquran.

Para kiai, ulama, habaib, dan ustadz kita sering mengingatkan, Alquran adalah kitab suci umat Islam sebagai petunjuk, penjelas, dan pembeda antara yang benar dan yang salah.

Ini harus menjadi pengingat bagi kita, khususnya umat Islam, untuk kembali mempelajari dan menjadikan nilai-nilai Alquran sebagai rujukan bersikap, berperilaku, dan meneguhkan pola pikir kita sehari-hari.

Karena itu, upaya untuk “membumikan Alquran” amat penting untuk membangun karakter, integritas, dan peradaban kita sebagai bangsa.

Dalam konteks ini, makna “membumikan Alquran” tentu bukan dibangun di atas prasangka bahwa “nilai-nilai Alquran masih melangit sehingga perlu dibumikan”.

Tentu bukan. Sebab, merujuk pendapat para ulama, kiai, dalam pengertian hakikinya, Alquran memang telah membumi ketika Allah SWT menurunkan ayat Alquran kepada Rasulullah Muhammad SAW.

Maka yang dimaksud ungkapan “membumikan Alquran” adalah makna metaforis, yang mengisyaratkan “masih jauhnya” perilaku kehidupan kita sehari-hari dari substansi dan nilai-nilai Alquran.

Untuk itu, upaya “membumikan Alquran” dalam konteks ini adalah ikhtiar kita semua, menjadikan “yang jauh” menjadi “lebih dekat” lagi agar perkataan, perilaku, dan pola pikir kita mencerminkan nilai Qurani. Yakni, menjadi pribadi lebih berintegritas dan menjaga nilai-nilai etika-moralitas; toleran, menghormati perbedaan, dan peduli kepada kaum dhuafa, anak yatim, dan yang termarginalkan; serta menjaga keberlanjutan kelestarian alam dan lingkungan di sekitar kita.

Tentu semua ini tidak semudah diucapkan. Untuk itu, dianjurkan bagi kita untuk saling menasehati dan menguatkan di jalan kebaikan, agar kita mampu menghadirkan kebaikan bagi masyarakat, bangsa, dan negara.

Untuk mewujudkan itu, dibutuhkan cara pandang keislaman moderat dan progresif . Kita sebagai bangsa Indonesia yang menjalankan nilai demokrasi berkarakter nasionalis-religius, tentu sangat familier dengan paradigma moderatisme ini.

Saya meyakini, karakter Islam yang moderat mampu menjadi jalan tengah bagi permasalahan umat yang belakangan terpolarisasi akibat perbedaan pemahaman keagamaan, serta cara pandang dan pilihan politik yang bermacam-macam.

Kita harus belajar dari dunia Arab. Bangsa Arab yang memiliki budaya dan bahasa yang sama, tetapi terpecah menjadi 22 negara berbeda.

Sementara itu, kita bangsa Indonesia, yang terdiri atas ratusan suku bangsa, bahasa, dan budaya. Alhamdulillah bisa menjadi satu, NKRI. Tentu, persatuan dan kerukunan tak hadir sendiri tanpa dirawat dan diperjuangkan.

Fondasi ini harus kita pertahankan, dengan mengokohkan paradigma keislaman moderat dan progresif, bukan pola keberagamaan yang justru membangun benteng perbedaan, menutup ruang dialog, serta saling curiga.

Dengan spirit Ramadhan yang teduh dan menguatkan, kita perkuat persatuan dan kerukunan antarumat, juga antaranak bangsa dengan corak Islam moderat, yang bersumber pada nilai-nilai universalitas Alquran.

Insya Allah, bersama-sama kita bisa menghadirkan kemaslahatan, juga membangun peradaban Indonesia yang lebih aman dan damai, adil, dan sejahtera, serta lebih maju dan mendunia. ***

Catatan: artikel ini diterbitkan di harian Republika, Jumat 7 Mei 2021