Jakarta: Pengamat politik dan Mantan Menpora, Dr Andi Alfian Mallarangeng menegaskan meski indeks toleransi makin menurun tetapi ia melihat masyarakat yang berjiwa toleran cukup besar.
Faktanya, mantan Jubir Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut melihat, tidak ada masalah dengan kebebasan beribadah pada hampir seluruh pemeluk agama di Indonesia.
Hanya, kata Andi Mallarangeng, Pemerintahan Jokowi terkesan ingin menyelesaikan semua persoalan intoleransi tanpa menghiraukan pergolakan yang terjadi. Bahkan suara-suara yang dianggap keras langsung ditangkap.
Dulu, masa Pemerintahan SBY, banyak juga persoalan intoleransi hingga terorisme. Tetapi Pemerintahan SBY menyelesaikan dengan tenang dan langsung menindak para pelakunya secara tegas, misal, Abu Bakar Ba’asyir hingga Habib Rizieq tanpa menimbulkan pergolakan di masyarakat. Kesemuanya berlangsung tanpa mendapatkan penentangan dari masyarakat. SBY bahkan tidak menindak para pengunjukrasa yang menghinanya dengan menuliskan kata “SBY” di kerbau tersebut.
Prinsipnya, kata Andi Mallarangeng, jika ingin menangkap ikan tertentu, jangan aduk kolamnya. Sehingga meskipun Pemerintahan SBY melakukan penindakan tegas tetapi masyarakat umum tidak merasakannya.
Karenanya Andi Mallarangeng menyarankan agar pemerintahan Jokowi fokus saja pada mereka yang tidak toleran sehingga toleransi bisa ditingkatkan.
Demikian pernyataan Andi Mallarangeng menyikapi hasil survei nasional yang dilakukan Roda Tiga Konsultan yang dipublikasikan di Roda Tiga Cafe, Jakarta, Selasa (17/12).
Survei nasional dilakukan RTK pada 26 November 2019 sampai dengan 5 Desember 2019. Survei ini melibatkan 1200 responden yang tersebar dari seluruh provinsi di Indonesia. Untuk menentukan responden, digunakan metode stratified systemic random sampling.
Wawancara dilakukan dengan tatap muka langsung. Untuk menjaga kualitas data, digunakan metode live call dan call back sebanyak 20% dari jumlah sampel. Adapun variabel survey yaitu, kondisi sosial ekonomi, kinerja dan kebijakan pemerintah, isu-isu nasional, Pancasila dan toleransi antar suku dan agama, dan preferensi terhadap Pemilu 2019.
Hasil di lapangan mengungkapkan penililaian responden terhadap kondisi sosial ekonomi nasional. Berdasarkan penilaian responden terhadap indikator variabel ini, dari skala 1 sampai 10 rata-rata nilai setiap indikator yaitu 6,12/10.00. Indikator dengan penilaian terendah yaitu, ‘kondisi ekonomi nasional’. Kemudian yang tertinggi yaitu, ‘kerukunan antar suku dan umat beragama’. Dengan nilai tersebut, responden pada dasarnya menilai kondisi sosial ekonomi sudah cukup baik, walaupun belum sangat baik.
Variabel selanjutnya yaitu, kinerja dan kebijakan pemerintah. Program nawacita Presiden Jokowi dinilai membawa perubahan baik oleh 44,3% responden (rerata), masih dibawah angka 50%. Yang menjawab program Nawacita tidak membawa perubahan memiliki rata-rata persentase 38,4% dan yang menjawab semakin buruk 8,3%. Dengan demikian, mereka yang menjawab program Nawacita semakin buruk dan tidak membawa perubahan berjumlah lebih tinggi (46,7%) dari pada yang menilai membawa perubahan baik (44,3%), dengan Gap 2,4%.
Kemudian, responden ditanyakan perihal penanganan pemerintah terhadap potensi-potensi masalah yang sedang di hadapi Indonesia. Dari 13 indikator yang ditanyakan, hanya ada 1 indikator yang dominan responden menjawab semakin baik (menjaga kerukunan antar suku dan umat beragama). Sebanyak 7 indikator lainnya, didominasi jawaban tidak ada perubahan. Sisanya 5 indikator didominasi jawaban semakin buruk. Selanjutnya, persentase rata-rata untuk jawaban tidak ada perubahan 34,7%. Kemudian yang menilai penanganan semakin buruk 32,1% dan yang menilai semakin baik 21,1%.
Dengan demikian, kecenderungan responden menjawab penanganan pemerintah terhadap potensi-potensi masalah semakin buruk dan tidak membawa perubahan lebih mendominasi (66,8%). Dibandingkan yang menjawab membawa perubahan baik (21,1%), dengan Gap 45,7%.
Menurut responden, Permasalahan yang harus segera di selesaikan yaitu, permasalahan ekonomi. Hal konsisten dengan sampel base Pulau maupun klasifikasi Rural-Urban. Permasalahan selanjutnya yaitu Pengangguran. Base Rural-Urban dan Pulau juga menggambarkan hal yang sama kecuali di Pulau Sulawesi. Permasalahan lainnya yang terekam yaitu, KKN, infrastruktur, sembako mahal, kesejahteraan, layanan kesehatan, utang negara, keamanan, dan narkoba.
Isu-isu nasional juga menjadi variabel dalam survei ini. Menurut survei, responden cenderung dengan sangat jelas menolak pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan oleh MPR. Sebanyak 55,1% berada di sisi tidak setuju dan sebanyak 10,6% berada di sisi setuju, dengan Gap 44,5%. Hal yang konsisten juga terlihat di base pulau seluruh Indonesia.
Hal sama juga terlihat pada wacana pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur oleh DPRD Provinsi. Responden cenderung dengan sangat jelas menolak Gubernur dan Wakil gubernur dipilih oleh DPRD Provinsi. Sebanyak 66,2% berada di sisi tidak setuju dan sebanyak 11,2% berada di sisi setuju, dengan Gap lebih besar lagi yaitu -55,0%. Hal konsisten juga terlihat pada Base pulau seluruh Indonesia. Begitu pula dengan wacana pemilihan Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/walikota oleh DPRD Kabupaten/Kota. Responden juga cenderung dengan sangat jelas menolak pemilihan Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/walikota oleh DPRD Kabupaten/Kota. Sebanyak 67,1% berada di sisi tidak setuju dan sebanyak 10,3% berada di sisi setuju, dengan Gap 56,8%. Hal konsisten juga terlihat pada base pulau seluruh Indonesia.
Selanjutnya, mengenai wacana pemindahan ibukota, dari DKI Jakarta ke wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Responden cenderung menolak wacana pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Sebanyak 38,3% responden berada di sisi tidak setuju, sedangkan yang berada di sisi Setuju sebanyak 32,5%, dengan Gab 5,8%. Selanjutnya mengenai isu pembiayaan pemindahan Ibukota dengan APBN. Hasil menunjukkan bahwa Responden cenderung menolak wacana tersebut. Sebanyak 44,6% di sisi tidak setuju dan yang setuju 22,8%, dengan Gap 21,8%. Penolakan juga terlihat pada isu pelibatan investor asing dalam pemindahan ibukota. Sebanyak 56,2% berada di sisi tidak setuju dan yang setuju 11,4%, dengan Gap yang tinggi yaitu, 44,5%. Hasil yang sama juga pada isu tukar guling aset negara. Sebanyak 54,1% berada di sisi tidak setuju dan yang setuju 7,1%, dengan Gap yang lebih tinggi lagi 47%%.
Variabel selanjutnya yang diukur yaitu, Pancasila dan toleransi antar suku dan umat beragama. Secara sangat jelas, responden sangat setuju dan setuju dengan pernyataan bahwa Pancasila sebagai falsafah dan dasar NKRI, perekat Bangsa Indonesia, dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, yaitu sebesar 86,8%. Sedangkan yang sangat tidak setuju dan tidak setuju hanya 1,4%, dengan Gap sangat jauh 85,4%. Responden cenderung tidak keberatan apa bila ada orang atau kelompok di luar agamanya tinggal di sekitar rumah/menjadi tetangga, melakukan kegiatan agama, dan membangun tempat ibadah disekitar lingkungannya. Namun merasa keberatan dalam hal menikah dengan salah satu anggota keluarga, menjadi kepala daerah, menjadi presiden ataupun wakil presiden Jika diluar dari agamanya. Kemudian mengenai perbedaan suku. Hasil survey menunjukkan bahwa responden cenderung tidak keberatan apa bila ada orang atau kelompok di luar sukunya tinggal di sekitar rumah/menjadi tetangga, melakukan kegiatan agama, menikah dengan salah satu anggota keluarga, menjadi kepala daerah, menjadi presiden ataupun wakil presiden.
Hal terakhir yang di ukur dalam survei ini adalah preferensi terhadap Pemilu 2019. Menurut responden, nilai Jurdil dalam rapor pelaksanaan Pemilu 2019 adalah 6,58 per sepuluh. Dengan begitu, Responden menilai pelaksanaan Pemilu 2019 sudah cukup baik, walaupun tidak sangat baik. Namun, sebagian responden masih melihat adanya kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu 2019. Sebanyak 28% mengatakan ada kecurangan, baik yang dapat mempengaruhi hasil maupun tidak. Selanjutnya, pelaku kecurangan menurut responden yang terbesar dilakukan oleh penyelenggara pemilu (7,7%), kemudian diikuti oleh tim sukses (5,9%), partai politik (2,8%), calon legislatif (2,6%), Aparat Negara (1,8%), dan Pemerintah Daerah (1,8%). Untuk netralitas aparat negara, responden menilai TNI sebagai pihak paling netral (81,3%), kemudian Polri (72,6%), BIN (70,7%), Kejaksaan (70,1%), dan ASN (69,9%). Sedangkan pihak yang paling tidak netral yaitu Polri (14,9%), ASN (13,8%), Kejaksaan (11,3%), Bin (10,2%), dan TNI (6%).
Selain Andi Mallarangeng hadir sebagai narasumber Hurriyah, S.Sos, IMAS (Wakil Direktur Eksekutif Puskapol Fisip UI), Ferry Kurnia Rizkiyansyah (peneliti senior Netgrit), dan Muhammad Taufiq Arif MSi (Direktur Riset Roda tiga Konsultan).
(Rilis/Didik)