Jakarta: Wakil Ketua MPR RI, dari Fraksi Partai Demokrat, Syarief Hasan meminta kepada pemerintah untuk betul-betul serius menangani kebocoran data kependudukan sebanyak 279 juta jiwa.

“Otoritas terkait, baik Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kepolisian, Badan Siber dan Sandi Negara untuk menginvestigasi kasus kebocoran data ini. Sekaligus ini juga menjadi momentum evaluasi kinerja berbagai institusi yang mengelola data kependudukan,” ujar Anggota Komisi I DPR RI ini.

Kasus kebocoran data ini bukanlah kejadian pertama, dan juga menjadi modus yang umum dalam pencurian data. Oleh karena itu, regulasi pengelolaan dan perlindungan data pribadi harus segera dibentuk sesuai dengan standar internasional. Dalam konteks ini, salah satu regulasi internasional yang sering dijadikan acuan adalah General Data Protection Regulation (GDPR). Aturan ini menstandardisasi undang-undang terkait perlindungan data di semua negara anggota Uni Eropa.

Dari sisi pertanggungjawabannya, kasus kebocoran data ini memiliki implikasi yuridis. Pasal 26 UU ITE telah menyatakan bahwa setiap orang dapat melakukan gugatan terhadap Perolehan Data Pribadi (PDP) tanpa persetujuannya. Setidaknya terhadap pelanggaran PDP dapat digugat sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atas dasar kesalahan berdasarkan ketentuan UU (1365 KUHPerdata), maupun atas dasar ketidakpatutan atau ketidakhati-hatian (1366 KUHPerdata).

Dalam konteks pidana, kebocoran data juga dapat menjadi bentuk illegal access maupun intersepsi. Karena itu, kasus pencurian ataupun pembocoran data penduduk ini pada dasarnya perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 30 dan 32 UU ITE, mengenai akses ilegal dan interferensi data. Bahkan pencurian atau kebocoran data ini dapat ditafsirkan sebagai bentuk perdagangan barang curian di pasar gelap sebagaimana diatur dalam Pasal 480 KUHP.

Menurut Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ini, di tengah jargon “Indonesia 4.0” yang berfokus pada digitalisasi multisektor, artificial intelligence, dan internet of things, terjadinya kebocoran data ini sangatlah disesali. Apalagi,  Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat serangan siber naik tiga kali lipat pada 2020, dengan angka mencapai 495 juta. Bahkan sepanjang 2020 telah terjadi 2.549 kasus pencurian informasi melalui surat elektronik dengan tujuan kejahatan. Kemudian terdapat 79.439 akun yang datanya dibobol.

“Kita patut khawatir pemerintah hanya berhenti membuat jargon tanpa ada upaya serius dan terarah dalam menjaga kerahasiaan data kependudukan,” kata Syarief.

“Kita harus mempercepat pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi yang kini tengah dibahas bersama oleh Pemerintah dan DPR. Secara prinsipil, DPR sangat mendukung perlindungan data pribadi karena itu adalah bagian dari hak asasi manusia sebagaimana amanat Pasal 28G UUD 1945 bahwa perlindungan data pribadi adalah hak melekat warga yang dijamin konstitusi,” tutup Menteri Koperasi dan UKM di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini.

(Rilis)