Oleh: Willem Wandik S.Sos*)
Dalam menghadapi upaya kudeta Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko maka Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, menyikapinya dengan ketenangan.
Tidak terlihat ekspresi “amarah” berlebihan dan tetap menjaga tutur kata yang baik, sekalipun menghadapi seorang mantan anak buah yang telah melakukan perbuatan, yang justru dipandang melewati batas kepatutan dan etika.
Presiden ke-6 SBY, pada masa jabatannya, telah memberikan “banyak kebaikan” kepada orang ini, namun, seperti “air susu dibalas dengan air tuba”, sikap seorang “Sengkuni berhati dingin” yang tanpa malu, tanpa mengindahkan “sumpah keperwiraan sebagai seorang mantan prajurit”. Terlebih lagi sebagai mantan Panglima TNI, dalam Sumpah Sapta Marga, yang memberikan kewajiban moral untuk setia terhadap nilai-nilai kejujuran, kebenaran dan keadilan (poin ke-3 Sumpah Sapta Marga).
Ketenangan dan kebaikan SBY telah salah dipahami oleh mereka yang justru berhati culas. SBY tetaplah seorang Bapak Bangsa, yang pernah memimpin negara, dan berusaha menegakkan kehidupan demokrasi, dengan keyakinan bahwa seorang pemimpin itu harus memiliki rasa tanggung jawab dan empati moral kepada rakyat.
Sikap diam terhadap masalah krusial dalam mempertahankan dan memperjuangkan nilai nilai demokrasi dan hukum, terlebih lagi apabila dilakukan oleh seorang Kepala Negara, merupakan pembiaran yang tidak benar. Dan justru dapat membahayakan masa depan bangsa dan negara.
Sikap diam terhadap masalah yang “common sense” diketahui oleh publik secara luas, berkaitan dengan keterlibatan anak buah istana, yang sah menjabati jabatan sebagai pembantu presiden, merupakan salah satu bentuk “dukungan terselubung”, keberpihakan kekuasaan terhadap perilaku bernegara yang menyimpang, dan pada akhirnya, melecehkan akal sehat rakyat yang mengetahui secara persis keterlibatan anak buah istana.
Tenang karena benar, itu berbeda, dengan definisi “diam dalam kesunyian, dan keberpura-puraan”.
Pura-pura tidak melihat fakta, pura-pura disibukkan dengan rutinitas dan protokol istana, berpura-pura tidak mengetahui persoalan… Sikap seperti ini bukanlah ketenangan dalam kebenaran, melainkan “kesunyian dalam kegelapan hati, pikiran, rusaknya moral, serta matinya nurani seorang pemimpin bangsa”.
SBY tidaklah mungkin marah, karena dirinya sadar betul, amarah tidak akan menyelesaikan masalah. Justru akan memicu instabilitas politik nasional, dan pada akhirnya akan merugikan rakyat itu sendiri.
Tetapi, yang harus disadari, adalah, setiap pemimpin akan dimintakan pertanggung-jawabannya oleh rakyat dan terutama oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Jangan salah memahami ketenangan yang kemudian berujung terhadap sikap aniaya dan melampaui batas.
Sesungguhnya, SBY tenang seperti itu, bukan berarti membiarkan orang-orang culas, yang aji mumpung dengan genggaman kekuasaan di tangannya, bebuat semaunya, tanpa risiko apa pun.
Peristiwa diamnya simpul simpul kekuasaan, terhadap upaya kudeta dan aneksasi Partai Demokrat, akan dicatat dalam sejarah, sebagai peristiwa “gelapnya demokrasi di Indonesia” pada rezim yang justru berasal dari kalangan sipil.
Fakta sejarah telah berlangsung, bahwa sikap otoritarianisme itu dapat terjadi pada pemimpin manapun. Baik sipil maupun pemimpin militer.
Tergantung sikap permisif rakyat, apakah akan terus membiarkan, membela, menyanjung “tahta kekuasaan” ataukah kembali ke jati diri rakyat yang menempatkan sistem nilai (demokrasi, hukum, kemerdekaan berekspresi) sebagai panglima tertinggi gagasan bernegara.
Wa Wa
*)Wakil Ketua Umum Partai Demokrat; Anggota Fraksi Partai Demokrat DPR-RI
Foto: website DPR-RI