Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Pandjaitan (MCPD)

Catatan Kritis atas Plt Gubernur Jabar

Oleh: HINCA IP PANDJAITAN XIII*)

TNI tetaplah TNI, fungsi dan tugasnya setia di asas hukum sebagai TNI. Tak lebih tak kurang. POLISI tetaplah POLISI, fungsi dan tugasnya setia pada asas hukum sbg POLISI. Tak kurang tak lebih. Pas. Kesetiaan pada asas hukum itu sudah diatur dan ditentukan serta ditetapkan oleh undang-undangnya masing-masing.

Salah satu ciri utama kedua institusi ini adalah bahwa dalam kontestasi politik pesta demokrasi, TNI dan POLRI tidak memilih dan tidak dipilih. Terang dan jelas aturan hukumnya. Setia pada asas hukum karena Indonesia negara hukum.

Pertanyaannya, dapatkah seorang TNI atau seorang Polisi mempunyai dan memiliki hak konstitusinya memilih atau dipilih sebagaimana masyarakat sipil? Tentu bisa dan juga boleh. Syaratnya ia harus mengakhiri masa jabatan kedinasannya itu. Ada banyak cara untuk itu. ALIH STATUS adalah salah satu cara yang disediakan regulasi kita. Kata “alih status” menyiratkan asas hukum adanya proses prosuderal yang harus dilewati yakni adanya permohonan dari yang bersangkutan dan disetujui oleh atasannya. Jadi status TNI atau Polisinya beralih menjadi tidak TNI dan tidak Polisi lagi, melainkan menjadi ASN (aparatur sipil negara) sesuai prosedural alih status yang dituju atau dimohonkan dan disetujui. Itulah proses hukum yang harus dipatuhi sebagai asas hukum bernegara, berbangsa dan berpemerintahan.

Tanri Bali, seorang yang cemerlang karirnya di TNI misalnya, ia sudah alih status, dari TNI menjadi PNS dengan menjadi jadi Dirjen Kesatuan Bangsa dan Politik di Kemendagri, baru kemudian diangkat jadi Plt Gubernur di Sulawesi Selatan pada waktu itu. Terang dan jelas. Tak ada yg salah. Prosesnya taat asas hukum.

Setia Purwaka, seorang perwira TNI berbintang yg karirnya pun cemerlang, bisa jadi contoh kedua yang baik untuk dijelaskan. Ia sebelumnya sudah alih status dari TNI menjadi PNS untuk kemudian menjadi Irjend di Kementrian Informasi dan Teknologi. Setelah itu baru kemudian diangkat jadi Plt. Gubernur Jatim pada masa itu. Taat asas dalam proses hukum alih statusnya. Tak ada Maladministrasi disitu.

Sebaliknya, total berbeda dengan M. Iriawan yang masih belum bisa terang dan belum benderang dijelaskan proses alih statusnya, apakah sudah beralih status dari seorang Polisi yang dikenal karirnya cemerlang berpangkat bintang menjadi PNS (baca: ASN). Karena itu, perlu dijelaskan agar masyarakat mendapatkan informasi yang cukup dan tidak salah. Masyarakat itu punya “right to know”.

Lalu, bagaimana dengan Carlo Brix Tewu, yang juga seorang Polisi berkarir cemerlang sebelum diangkat jadi Plt Gubernur Sulbar pada waktu itu?

Publik belum aware pada masa itu, sehingga kalaupun pada masa itu tidak gaduh di ruang publik, tentulah harus dikatakan itu juga tidak benar. Jangan karena pada waktu itu tidak ketahuan, lalu kesalahan yang sama diulang lagi. Pengulangan kesalahan serupa itu pelanggaran atas asas hukum, yg oleh Ombudsman disebut Maladministrasi yang berakibat dapat dijatuhi sanksi hukum. Sungguh tak elok, sungguh tak bijak.

Karena itu, pemerintahan Jokowi perlu menjelaskan ke publik agar menjadi benderang dilihat dari dalam dan terang ditengok dari luar; apakah alih status yang memang dipersyarakatkan regulasi sudah dipenuhi atau belum, sebelum menjabat Plt Gubernur?

Mari taat asas hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan. Itu syarat pemerintahan yang demokratis dan good governance dalam bingkai negara hukum.

DPR RI sebagai lembaga negara yang punya hak konstitusional mengawasi patut dan pantas bertanya soal ini. Menggunakan Hak Angket adalah sarana hukum yang tersedia secara konstitusional untuk membut terang dan benderang apa yang dipertanyakan publik soal Plt Gubernur Jawa Barat hanya dalam hitungan hari jelang pesta demokrasi Pilkada 2018.****

*) Sekretaris Jenderal Partai Demokrat