Oleh: Ridwan Sugianto*)
Ada yang menarik dari peluncuran The Yudhoyono Institute (TYI), yakni kehadiran putera-putera Presiden RI sebelumnya. Tampak putera-puteri Sukarno: Sukmawati Sukarnoputri, Guruh Sukarnoputera, dan Rachmawati Sukarnoputeri. Ada pula Yenny Wahid, puteri K.H. Abdurahman Wahid. Dengan kehadiran Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), kedua putera Susilo Bambang Yudhoyono, peluncuran TYI boleh juga disebut ajang silaturahmi putera-puteri presiden RI sebelumnya. Sayangnya, barangkali karena ada urusan lain, Gibran Rakabuming Raka, putera Jokowi yang sebelumnya sudah disambangi AHY tidak dapat hadir.
Bagi saya, komunikasi yang baik antara putera-puteri para presiden RI, yang sejatinya adalah juga lintas generasi, merupakan perlambang bahwa Menuju Indonesia Emas 2045 adalah urusan segenap bangsa Indonesia. Ini bukan cuma urusan pendukung masing-masing presiden yang pertama sampai yang terakhir. Ini adalah urusan kita semua, sesuatu yang harus kita perjuangkan demi kemashalatan anak-cucu kita di masa depan.
Karena, menurut prediksi Muhammad Nuh, mantan Menteri Pendidikan Nasional, masa keemasan Indonesia akan terjadi pada seabad usia Republik. Pada periode 2040-2050, bonus demografi dan potensi-potensi zaman yang terkelola dengan baik menjanjikan masa depan Indonesia cerah dan menjanjikan.
Bagaimana cara mewujudkan Indonesia Emas 2045? AHY, Direktur Eksekutif TYI, memaparkan visinya. Ia menyebut ada tiga prasyarat utama yang harus dipenuhi. Pertama, Indonesia harus menjadi negara aman dan damai. Kedua, Negara harus adil dan sejahtera melalui pembangunan secara berkelanjutan dan berkeadilan yang berpijak pada empat pilar: pro-growth, pro-jobs, pro-poor dan pro-environment. Empat pilar ini –berpilarkan pertumbuhan ekonomi, pembukaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan—sejatinya adalah model pembangunan yang diterapkan oleh SBY selama dua periode menjabat presiden RI.
Prasyarat ketiga, bangsa Indonesia harus maju dan mendunia. Indonesia jangan sampai terjebak menjadi bangsa konsumtif. Seiring perkembangan kesejahteraan masyarakat, dengan memanfaatkan teknologi tinggi, Indonesia sudah selayaknya memproduksi produk-produk unggulan kelas dunia. Alih-alih tergerusnya jati diri bangsa di era globalisasi, Indonesia mesti mampu mengekspor keunikan dan keunggulannya ke berbagai belahan dunia.
Tentu saja masa keemasan Indonesia membutuhkan generasi unggul yang akan mengawaki dan memimpin Indonesia di era kejayaan itu. Menurut AHY, ada tiga hal utama yang harus dimiliki oleh generasi unggul ke depan: kapasitas intelektual yang tinggi; karakter dan mentalitas yang kuat; dan kemampuan memimpin secara efektif. Dan saya berpikir, dalam konteks inilah TYI diluncurkan; untuk menciptakan generasi yang unggul ini.
Sampai di sini, saya pikir sudah seharusnya bangsa Indonesia angkat topi untuk AHY. Di usianya yang belum genap 40 tahun, AHY sudah memikirkan dan merumuskan visi Indonesia Emas, serta membangun tim untuk bergerak bersamanya demi mempersiapkan generasi pemimpin patriotik yang mumpuni menyambut dan mereguk era kejayaan itu.
Tetapi orang nyinyir sudah kodratnya untuk nyinyir. Saya cermati, sudah banyak rumor-rumor gelap. Kendati sudah ditegaskan TYI adalah lembaga think-thank yang bersifat independen, tak akan mencebur dalam politik praktis, toh syak wasangka dihembus-hebuskan juga.
Padahal, adalah galib jika gagasan dan kebijaksanaan seorang tokoh—apalagi presiden—dilestarikan melalui pembentukan lembaga think-thank. Kita mengenal Yayasan Pendidikan Soekarno (YPS), Pusat Kajian Jenderal Besar HM Soeharto yang lebih kesohor dengan nama HM Soeharto Center. Ada pula The Habibie Center (THC), Wahid Foundation dan Megawati Institute.
Setiap lembaga ini memiliki karakternya masing-masing sesuai dengan nama besar presiden yang diembannya. Lembaga-lembaga ini, sudah berkontribusi positif dalam pembentuk wajah Indonesia hari ini. Dan kehadiran TYI kelak akan semakin memperkaya dan menjamin masa depan Indonesia yang menjanjikan.
Jadi sekonyong-konyong menisbatkan TYI sebagai kendaraan politik terselubung adalah suatu tragedy pendek pikir. Orang-orang ini terjangkit kealfaan membaca sejarah dan menarik kesimpulan atas problematika bangsa dan negara kekinian. Sungguh sayang kebajikan yang hendak diemban lembaga think-thank ini direduksi sebatas instrument politik praktis.
Sebagai penutup, izinkan saya mengutip sepenggal bait puisi ‘Membasuh Jiwa’ karya SBY. Saya pikir, bait ini amat cocok sebagai bahan renungan bagi mereka yang menaruh syak-wasangka. Bahkan saat putera-puteri para presiden bergandengan tangan.
Dan, bila
Sepanjang malam hatiku tergoda untuk menabur dengki
Dan fitnah
Kapan aku bisa tafakur dan beribadah
Dan mencegah dosa, berbuat baik kepada sesama
*)Penggiat Gerakan Indonesia Emas 2045
(politiktoday)