Jakarta: Rencana Presiden Joko Widodo memilih rektor universitas secara langsung mendapat kritikan tajam dari Partai Demokrat. Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Dr Hinca IP Pandjaitan XIII mengungkapkan, setidaknya ada tiga alasan mendasar mengapa Demokrat berharap agar Presiden Jokowi mengkaji ulang karena bukan rencana yang bijak.
Berikut pernyataan lengkap Sekretaris Jenderal Partai Demokrat yang disampaikan melalui akunnya di media sosial twitter @hincapandjaitan, jelang berbuka puasa, Senin (5/6/2017):
Sebelum buka puasa nanti, saya akan kultwit ttg wacana yg disampaikan mendagri mengenai “Presiden terlibat dalam pemilihan rektor.”
Karena soal pemilihan Rektor ini penting sekali dlm tatanan kita mengembangkan demokrasi dan mempertahankan tradisi akademik yg otonom & baik
Ada artikel yg harus dibaca menjawab keresahan terhadap isu kebijakan pemilihan rektor. Cc: @teukuriefky_1 http://m.tribunnews.com/nasional/2017/06/04/dpr-nilai-presiden-berlebihan-pilih-langsung-rektor-universitas
- Sistem Pendidikan tinggi di Indonesia memang terus mengalami perubahan dan perbaikan.
- Salah satu wacana yg ramai diperdebatkan belakangan ini adalah perubahan mekanisme pemilihan rektor PTN oleh Presiden.
- Asumsinya nanti jika berlaku, keputusan akhir rektor yg terpilih ada pada Presiden tidak lagi oleh Menristekdikti bersama senat kampus.
- Sikap kami @PDemokrat jelas mengkritisi wacana kebijakan ini. Sebagaimana yg telah disampaikan wasekjen kami https://nasional.sindonews.com/newsread/1210611/144/demokrat-nilai-terlalu-jauh-presiden-dilibatkan-pemilihan-rektor-1496559110
- Ada beberapa alasan mengapa kami @PDemokrat mengkritisi wacana tersebut, mari kaji satu persatu.
- Alasan yg PERTAMA adalah wacana pemilihan rektor PTN oleh Presiden tidak sesuai dengan perumusan kebijakan yg baik dalam teori.
- Menurut William Dunn sebuah kebijakan yg baik haruslah melalui beberapa tahapan dan salah satunya adalah tahapan formulasi kebijakan.
- Dunn menyatakan dlm tahapan formulasi kebijakan pemecahan masalah terbaik hrs berasal dari berbagai pilihan kebijakan (policy options).
- Jika ditelisik masalah utama dari munculnya wacana ini adalah untuk meredam ideologi yg tidak diinginkan beredar dikampus-kampus.
- Hal ini didasarkan kepada adanya 1 kasus dimana rektor yg terpilih ternyata memiliki ikatan dengan ISIS.
- Lantas apakah pemilihan rektor langsung oleh Presiden menjadi solusi terbaik ? Atau bahkan satu-satunya jalan ? Tentu Tidak !!
- Solusinya tentu ada dalam Permenristekdikti No. 19/2017 yg telah mengatur proses pengangkatan pimpinan PTN dengan sangat baik.
- Menurut peraturan tsbt prosesnya terdiri dari penjaringan bakal calon, penyaringan calon, pemilihan, serta penetapan & pelantikan.
- Bertahapnya proses tersebut tentu dapat menseleksi calon calon rektor yg berkualitas & sesuai dengan ideologi Pancasila.
- Bahkan dalam Pasal 8 sudah diatur proses penelusuran latar belakang calon rektor oleh Menteri untuk mencegah calon yg tidak diinginkan.Translate from Indonesian
- Artinya kasus salah satu kampus yg rektornya berindikasi dekat dengan ISIS tak akan terjadi apabila Pasal 8 ini dijalankan dengan baik.Translate from Indonesian
- Oleh karena itu kebijakan pemilihan rektor oleh Presiden bukan satu satunya solusi untuk meredam ideologi yg tidak diinginkan di kampus.
- Melainkan dengan memaksimalkan penelusuran kepada calon rektor oleh menteri sebagaimana diatur dalam permenristekdikti no.19/2017.
- Yg KEDUA adalah kebijakan ini nantinya tidak akan efektif ketika dijalankan. Kenapa demikian ?
- Apa yg telah menjadi tugas seorang menristekdikti kemudian ditarik kembali tugasnya agar juga dijalankan oleh Presiden.
- Hal ini tentu akan menambah beban bagi Presiden nantinya karena tercatat ada 377 jumlah PTN. Lihat data PTN: http://forlap.dikti.go.id/perguruantinggi/homegraphpt …
- Artinya akan ada 377 hari yg perlu disisihkan Presiden selama masa jabatannya hanya untuk memilih rektor.
- Tentunya waktu yg dihabiskan tersebut masih bisa digunakan untuk menyelesaikan persoalan bangsa yg lebih besar seperti kemiskinan dll.
- Selain itu mekanisme pemilihan suara rektor sejatinya telah menunjukan peran pemerintah melalui ketermilikan 35 % suara oleh menteri.
- Lagi-lagi sejatinya kekhawatiran untuk meredam ideologi ekstrim di kampus dapat melalui peran Menristekdikti, tidak perlu Presiden.
- Yg KETIGA wacana kebijakan ini dapat memupuk stigma negatif publik kepada pemerintah.
- 19 Tahun sudah kita terlepas dari belenggu orde baru yg begitu represif mengkontrol perguruan tinggi di Indonesia.
- Pada masa itu kekuasaan begitu ketatnya mengontrol perguruan tinggi sebagai lembaga akademik.
- Hal ini tentunya mengakibatkan trauma di kalangan akademisi sampai saat ini. Karena lembaga pendidikan yg seharusnya kritis dibungkam.
- Trauma itu masih terpelihara sampai kini sehingga wacana melibatkan Presiden tuk turun tangan langsung memilih rektor bukanah hal bijak.
- Stigma negatif akan naik ke ruang publik bahwa kekuasaan ingin benar” mengontrol PTN agar tidak terlalu kritis kepada pemerintah.
- Tentu hal tersebut tidak diinginkan bukan? Bagaimanapun pemerintah wajib menjaga citra positifnya agar dipercaya oleh publik.
- Kesimpulannya wacana pemilihan rektor oleh Presiden haruslah dikaji ulang dan matang karena terbukti bukan langkah yg bijak.
- Terlepas dari itu dari pada fokus ttg siapa yg memimpin PTN lebih baik kita memikirkan rumusan terbaik dalam Sistem Pendidikan Tinggi.
- Krn tercatat menurut rangking dari Universitas 21 sistem pendidikan tinggi kita terendah di antara 50 Negara. http://www.universitas21.com/article/projects/details/153/executive-summary-and-full-2017-report
- @PDemokrat sadar betul bahwa Sistem Pendidikan Tinggi menjadi penting untuk membawa bangsa ini menjadi nomor 1 di mata dunia.
- @PDemokrat juga selalu siap membantu pemerintah untuk menemukan rumusan terbaik bagi sistem Pendidikan Tinggi Indonesia
- Karena sikap politik kami thdp pemerintahan @jokowi, adlh penyeimbang; yang baik diapresiasi yg belum baik dikritisi agar baik adanya.
- Sekian sekilas pandangan @PDemokrat terhadap wacana pemilihan rektor oleh Presiden. Selamat berbuka puasa saudara” ku.
(dik)