Oleh : Rudi Apriasi ST*)

Melalui rapat paripurna pada tanggal 5 Oktober 2020, RUU Cipta Kerja telah resmi disahkan menjadi undang-undang oleh DPR RI. Pengesahan ini maju tiga hari dari tanggal yang telah ditetapkan, yaitu tanggal 8 Oktober 2020. Pemerintah berharap pengesahan dipercepat untuk membantu mengatasi ekonomi Indonesia yang terpuruk akibat pandemi. Sayangnya, ketergesaan pemerintah dalam mengesahkan UU Cipta Kerja ini hanya menyebabkan konflik di berbagai daerah di Indonesia.

Demonstrasi oleh pihak buruh dan mahasiswa dilakukan di depan kantor pimpinan daerah dan DPR RI, menuntut pembatalan pengesahan omnibus law. Bahkan, beberapa siswa sekolah menengah atas terlihat ikut turun ke jalan. Kericuhan tak dapat dihindari, terutama di Jakarta. Beberapa halte Transjakarta rusak dan terbakar. Halte MRT rusak. Setidaknya sekitar 1000 demonstran ditangkap Polda Metro Jaya karena dicurigai sebagai provokator.

Akibatnya, pimpinan daerah yang terus terdesak massa demo mau tidak mau menerima aspirasi demonstran. Tercatat ada lima pemimpin daerah yang akan menyalurkan aspirasi kepada Presiden melalui surat, yaitu Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X, Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji, Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Selain itu, ada juga Wali Kota Sukabumi Ahmad Fahmi, Wali Kota Bandung Oded Muhammad, dan Bupati Bandung Barat AA Umbara. Mereka meminta Presiden Joko Widodo untuk membatalkan pengesahan omnibus law dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Bukan hanya itu, ada beberapa DPRD dari berbagai daerah di Indonesia yang juga menyatakan sikap berbeda dengan DPR pusat. Untuk DPRD di level provinsi, ada Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Bengkulu, Nusa Tenggara Barat, Aceh, dan Sumatera Barat. Sementara itu, untuk DPRD tingkat kabupaten atau kota, ada Bojonegoro, Sidoarjo, Tuban, Purwakarta, Bandung, Tasikmalaya, Kudus, Jambi, Bontang, Sumbawa, Pasaman Barat, dan lain-lain. Mereka sepakat omnibus law yang baru disahkan hanya merugikan masyarakat.

Presiden Joko Widodo mengatakan konflik yang terjadi akibat demo diakibatkan oleh masyarakat yang tak paham substansi UU Cipta Kerja. Masyarakat melakukan demonstrasi karena termakan hoax dan disinformasi tentang omnibus law, katanya. Well, mengapa pemerintah mengalihkan tanggung jawab dan melemparkan kesalahan kepada masyarakat? Tidakkah pemerintah menyadari konflik omnibus law bahkan telah dimulai dari kalangan mereka sendiri?

Jika melakukan kilas balik, kita akan melihat keanehan pada perumusan dan pengesahan UU Cipta Kerja. Contohnya ialah kejanggalan pada rapat paripurna yang dirasakan oleh Fraksi Partai Demokrat. Berdasarkan keterangan dari anggota Fraksi Demokrat Didi Irawadi Syamsuddin, perubahan jadwal rapat diberitahukan hanya beberapa jam sebelum rapat dilangsungkan. Tak hanya itu, lembar naskah RUU Cipta Kerja yang akan disahkan juga tidak dibagikan sebelum rapat. Padahal, untuk pembuatan keputusan yang sangat krusial seperti UU Cipta Kerja, dokumen rancangan undang-undang dan jadwal rapat yang tepat seharusnya sudah disiapkan dengan baik. Karena ketidaksiapan tersebut, ada kesan DPR RI memaksakan pengesahan UU Cipta Kerja.

Memang tak semua fraksi menerima UU Cipta Kerja. Fraksi PKS dan Fraksi Partai Demokrat sepakat omnibus law tidak seharusnya disahkan. Mereka menolak RUU Cipta Kerja disahkan, namun sayangnya kalah suara. Fraksi Demokrat berpendapat, pengesahan UU Cipta Kerja yang dilakukan di saat pandemi masih berlangsung sangat tidak relevan. Saat ini, pemerintah seharusnya melakukan sesuatu untuk memutus rantai penyebaran virus Covid-19 dan memberi dukungan pada tenaga medis serta masyarakat yang terdampak.

Apalagi, setiap hari jumlah pasien positif Covid-19 juga semakin meningkat. Per tanggal 11 Oktober 2020, jumlah pasien positif Covid-19 telah mencapai angka 330 ribu. Di Asia Tenggara, Indonesia menempati peringkat pertama jumlah kematian tertinggi akibat Covid-19. Miris sekali. Melihat data tersebut, bukankah masalah ini jauh lebih penting daripada pengesahan UU Cipta Kerja?

Pemerintah boleh bilang pengesahan UU Cipta Kerja justru merupakan solusi atas masalah ekonomi yang ditimbulkan oleh pandemi. Akibat pandemi, banyak usaha terpaksa gulung tikar dan pekerja kehilangan pekerjaan. Karena UU Cipta Kerja ingin meningkatkan jumlah lowongan kerja dan memperbanyak investasi, maka omnibus law harus cepat-cepat disahkan. Dengan demikian, ekonomi negara tidak akan terus menurun.

Benarkah demikian? Apakah mengesahkan UU Cipta Kerja di tengah pandemi adalah keputusan yang tepat? Saya rasa tidak. Alih-alih memikirkan investasi, bukankah semua orang di dunia saat ini tengah memikirkan pandemi? Siapa yang akan berinvestasi jika semua orang tengah mengalami kondisi keuangan yang minus? Saya rasa tidak ada. Kalaupun ada, maka jumlahnya sedikit. Jika demikian, maka pengesahan UU Cipta Kerja yang dilakukan di tengah pandemi tidak akan memperoleh hasil yang maksimal. Investasi yang diharapkan pemerintah tidak akan mendapatkan hasil yang signifikan.

Lagipula, omnibus law yang baru ditetapkan ini adalah peraturan jangka panjang. Masalahnya, di masa pandemi ini, keadaan menjadi serba tidak pasti. Kita belum tahu bagaimana keadaan setelah pandemi usai. Menurut Rimawan Pradiptya, Ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, mengesahkan UU Cipta Kerja di tengah pandemi adalah keputusan yang berbahaya, karena pemerintah tidak bisa memastikan masa depan setelah pandemi.

Pemerintah terkesan tidak peka dengan keadaan. Sedang pandemi, kok malah memikirkan investasi. Sebaiknya, di tengah situasi sulit seperti ini, pemerintah menunda pengesahan UU Cipta Kerja. Lihatlah situasi terlebih dahulu dan fokus pada penanganan pandemi. Apalagi, tercatat ada puluhan orang anggota dan staf di DPR RI yang terinfeksi virus Covid-19.

Selain masalah pandemi, Fraksi Demokrat juga menyoroti substansi omnibus law yang banyak mengandung ketidakberpihakan kepada masyarakat. Mereka melihat DPR RI mengabaikan hak dan kepentingan kaum pekerja dalam penyetujuan RUU Cipta Kerja. Keuntungan utama dari UU Cipta Kerja akan diperoleh pengusaha, bukan pekerja. Meskipun pemerintah menyanggah dengan mengatakan UU Cipta Kerja dapat menciptakan lapangan pekerjaan, tetapi pada pelaksanaannya justru akan memangkas aturan perizinan, penanaman modal, dan ketenagakerjaan. Hal ini tentu akan menghambat pertumbuhan ekonomi yang diharapkan pemerintah. Lalu, Fraksi Demokrat juga memandang UU Cipta Kerja tidak mencerminkan semangat Pancasila. Alih-alih sila keadilan sosial yang diterapkan, UU Cipta Kerja justru mendukung pemerintah mengembangkan ekonomi kapitalistik dan neo-liberalistik. Tidak ada rasa keadilan sosial dalam UU Cipta Kerja. Alasan-alasan tersebut memaksa Fraksi Demokrat menyatakan ketidaksepakatan terhadap rancangan UU Cipta Kerja yang telah disahkan.

Belum lagi jika kita menilik satu per satu kekurangan dalam UU Cipta Kerja. Dosen Fakultas Hukum UGM, Nabiyla Risfa Izzati mencatat setidaknya ada enam poin dalam UU Cipta Kerja yang tidak berpihak pada masyarakat. Sebut saja pengaburan batas waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang menyebabkan buruh bisa terus menerus berada dalam perjanjian kerja kontrak, perubahan upah minimum di tingkat provinsi, outsourcing yang bisa dilakukan tanpa syarat apa pun, ketidakpastian terkait hak cuti melahirkan, konsep PHK yang berubah, hingga soal aturan turunan dan pasal yang tidak implementatif.

Pengesahan UU Cipta Kerja yang dilakukan tanggal 5 Oktober sejatinya terlalu tergesa-gesa. UU Cipta Kerja yang telah disahkan masih butuh banyak diskusi dan pembahasan lebih lanjut karena Undang-Undang kali ini adalah omnibus law yang bersifat kompleks dan mencakup beragam isu. Setiap butir peraturan yang dicantumkan dalam rancangan undang-undang harus dicermati satu per satu secara mendalam. Lantas, mengapa memajukan jadwal pengesahan yang semula tanggal 8 Oktober menjadi 5 Oktober?

Karena waktu pengesahan yang tidak tepat dan substansi rancangan yang tidak jelas itulah, muncul penolakan dari berbagai pihak. Seperti yang telah disebutkan di awal tulisan, terjadi penolakan dari kaum buruh dan mahasiswa. Penolakan tersebut menyebabkan konflik dan kehancuran fasilitas umum. Tidakkah penolakan ini hanya memperparah ketidakstabilan kondisi sosial ekonomi di masyarakat? Dengan segala kekacauan yang terjadi, saya rasa investor justru akan berbalik arah dan tidak jadi melakukan investasi.

Poin peraturan yang merugikan masyarakat. Ketergesaan dalam mengesahkan undang-undang. Ketidaksesuaian pengesahan undang-undang dengan situasi pandemi. Jika tulisan ini disimpulkan, ketiga kalimat di atas akan mewakili. Ketiganya adalah beberapa alasan mengapa omnibus law UU Cipta Kerja harus ditolak. Kita mesti bersyukur karena beberapa pimpinan daerah telah menyampaikan aspirasi kepada Presiden Joko Widodo untuk membatalkan UU Cipta Kerja. Namun, apakah akan dikabulkan? Kita tunggu saja.

Keterangan foto: Rudi Apriasi saat menerima aspirasi ratusan demonstran yang menuntut UU Cipta Kerja dibatalkan, di Lubuk Sikaping, 8 Oktober 2020

*)Ketua Komisi 2 DPRD Kabupaten Pasaman dan Ketua DPC Partai Demokrat Kabupaten Pasaman