Oleh: Ferdinand Hutahaean*)
Hari yang cerah pagi ini dengan siraman sinar matahari yang menawarkan kehidupan baru ternyata tak mampu membuat alam politik bangsa ini cerah, secerah mentari yang tak pernah ingkar untuk selalu memberikan kehidupan bagi semesta.
Alam yang cerah ternyata harus dinodai dan dirusak oleh sebuah pernyataan Presiden Jokowi yang dimuat dihalaman depan sebuah media koran cetak ternama. Sebut saja koran Rakyat Merdeka, koran politik terdepan yang ada di negara ini. “Kalau Nol Persen Kapan Kita Maju “. Begitulah judul halaman depan yang dibumbui tulisan “Jokowi Bicara Syarat Capres”.
Saya memaknainya dan memahaminya bahwa Jokowi sebagai Presiden bicara tentang syarat Capres 2019 atau yang sering disebut dengan istilah Presidential Threshold. Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu memang saat ini sedang dibahas di Parlemen oleh Pansus RUU Pemilu. Informasi yang beredar bahwa dari 5 isu krusial, 4 diantaranya sudah disepakati lobi antar Fraksi, diantaranya Sistem Pemilu Legislatif yang terbuka, Penambahan Jumlah Kursi DPR, Penambahan Daerah Pemilihan dan Ambang Batas Parlemen (Parliament Threshold). Dari itu menyisakan 1 isu paling krusial adalah terkait Syarat Pencapresan atau Presidential Threshold.
Pemerintah yang didukung oleh Fraksi Golkar, PDIP, dan Nasedem tampaknya bersikap ngotot untuk menetapkan syarat Capres 2019 adalah 20% suara atau 25% Kursi DPR. Tentu sah saja usulan ini secara politik. Bahkan kalau perlu ngotot sambil membelalakkan mata pun boleh, tapi itu hanya secara politik.
Tentu berbeda bila kita bicara dari sisi demokrasi dan hukum. Politik adalah permainan opini, persepsi dan selera sesuai kepentingan. Namun bila kita bicara tentang sebuah bangsa dan negara, maka demokrasi dan hukum adalah pijakan utama, meski keduanya lahir dari sebuah proses politik. Namun setidaknya demokrasi dan hukum, erat kaitannya dengan tanggung jawab kepada dunia dan akhirat karena demokrasi adalah Suara Rakyat; Suara Tuhan, dan hukum adalah demi keadilan atas nama Tuhan Yang Maha Esa.
Syarat yang diajukan oleh pemerintah bersama partai pendukungnya sebesar 20% suara atau 25 % kursi parlemen, tentu bila kita kaji secara demokrasi dan hukum yang berlaku, maka syarat itu hanya sebuah syarat akal-akalan politik dan bertentangan dengan demokrasi dan hukum.
Secara demokrasi dan dijamin oleh konstitusi, maka setiap orang berhak untuk dipilih dan memilih. Maka jika didalam konstitusi dinyatakan berhak, kenapa dibatasi dengan segala macam aturan yang justru tampak tidak demokratis dan membunuh demokrasi itu sendiri? Bahkan jika mengacu ke hak tersebut, capres independen pun harusnya dapat ruang, namun UU telah mengatur bahwa hanya partai politik yang berhak karena memang parpol adalah saluran berdemokrasi. Dengan demikian, syarat yang patut secara konstitusi dan demokrasi adalah partai politik tanpa embel-embel Presidential Treshold. Yang penting partai politiknya lolos verifikasi dari Kementerian Hukum dan HAM.
Secara hukum, mestinya pemerintah membaca keputusan Mahkamah Konstitusi yang diputuskan dan dituangkan dalam Keputusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, maka pengajuan syarat capres 20% itu adalah tidak layak dan tidak patut karena tidak sejalan dengan Keputusan MK tersebut. Padahal, pemerintah dan Presiden Jokowi seharusnya memahami bahwa keputusan MK adalah mengikat dan harus dilaksanakan. Kecuali jika pemerintahan Presiden Jokowi ingin menabrak hukum dan norma serta etika, maka Presiden dipersilahkan untuk tetap ngotot dengan kekeliruannya.
Itulah kajian singkat tentang syarat pencapresan atau Presidential Threshold dari sudut demokrasi dan hukum. Semoga memperkaya pemahaman pemerintah dan membuatnya berubah sikap tentang pendapat-pendapatnya yang keliru tentang Presidential Threshold.
Dari sekian banyak kekeliruan itu, salah satunya adalah pernyataan Presiden Jokowi yang saya tuliskan di atas sebagaimana dimuat Rakyat Merdeka hari ini, Senin 19 Juni 2017. Membaca judulnya saja sudah membuat kening berkerut karena logika waras saya ingin marah dan sekaligus juga ingin tertawa. Bisa anda bayangkan ekspresi orang marah sambil tertawa? Saya pun tak bisa membayangkannya, tapi sungguh, jujur saya ingin marah sambil tertawa membaca pernyataan itu.
Kalau Nol Persen, Kapan Kita Maju. Begitulah kalimat singkat yang dituliskan Redaksi Rakyat Merdeka mewakili seluruh pemikiran dan pernyataan Jokowi tentang mengapa harus 20% syarat pencapresan. Saya jadi bertanya-tanya, apa hubungannya syarat pencapresan 20% itu dengan majunya sebuah negara? Sebaiknya Pak Presiden tidak usah menjawab pertanyaan ini karena saya yakin jawaban Presiden akan membuat saya makin bingung dan logika waras saya mungkin akan terganggu.
Tidak ada kaitan signifikan antara syarat pencapresan itu dengan majunya sebuah negara. Majunya sebuah negara ditentukan oleh pemerintahan yang kuat dan mampu mengelola ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, keamanan dan pertahanan secara baik dan benar. Hanya itu, dan tidak perlu ditambah lagi dengan syarat mengada-ada seperti Presidential Threshold di 20% itu.
Cobalah sedikit kita jadikan pemerintahan yang sekarang ini sebagai cermin dari hasil sebuah Pilpres dengan Presidential Threshold 20%. Mari kita jawab jujur dengan nurani, adakah kita maju ekonominya? Adakah politik stabil? Adakah hukum tegak atas nama Tuhan Yang Maha Esa? Adakah peningkatan pendapatan per kapita masyarakat meningkat? Adakah bangsa ini masih disegani di kancah internasional? Cukup sampai di situ saja pertanyaannya. Jika jawabannya adalah “tidak” maka pernyataan Presiden Jokowi tersebut adalah masuk kategori opini yang tidak sesuai dengan fakta lapangan. Sedih kan bila Presiden bicara dengan persepsi yang tidak didukung fakta?
Bahkan bila kita melihat negara-negara maju, rasanya tidak pernah menggunakan syarat Presidential Threshold seperti kita. Lihat negara-negara maju yang sistem kepartaian yang sederhana maupun yang multipartai, bahkan negara yang masih menganut sistem monarki atau kerajaan tanpa pemilihan, semua tidak pernah bicara tentang Presidential Threshold. Lantas logika apa dan alasan apa serta fakta apa yang digunakan Presiden Jokowi membenarkan pernyataannya tentang majunya sebuah negara terkait dengan Presidential Threshold? Hmmmm mumet ndasku kata orang di warung pinggir jalan.
Sepatutnyalah dan sewajarnya Presidential Threshold itu berada di 0%. Mengapa demikian? Karena itu akan menghadirkan calon presiden alternatif dan kemungkinan munculnya calon-calon presiden berkualitas yang tidak atau belum terjerumus ke tangan oligarki. Rakyat diberikan pilihan, rakyat tidak disuguhi pilihan yang sudah dipilih oleh kaum oligarki.
Rakyat butuh calon presiden yang layak pilih. Dan itulah demokrasi yang sesungguhnya, dimana setiap orang berhak dipilih dan memilih, dimana Suara Rakyat adalah Suara Tuhan, bukan Suara Pemerintah Suara Tuhan. Sadarlah, Tuan…!
Jakarta, 19 Juni 2019
Pimpinan Rumah Amanah Rakyat dan Wakil Sekjen Bela Tanah Air