Ratusan anggota DPR dari empat fraksi yakni F-Demokrat, F- Gerindra, F-PAN, dan F-PKS meninggalkan ruang sidang sebelum pengesahan RUU Pemilu pada sidang Paripurna DPR ke-32 masa persidangan V tahun sidang 2016-2017 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (21/7/2017) dini hari. DPR mengesahkan RUU Pemilu menjadi undang-undang setelah melalui mekanisme dan memilih opsi A, yaitu Presidential Threshold sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional. (Antara/M Agung Rajasa)

Oleh: Ferdinand Hutahaean*)

Mungkin Presiden Jokowi, Mendagri Tjahjo Kumolo dan para Anggota Dewan (maaf tak ingin menyebut mereka dengan label “Terhormat”) yang menyetujui RUU Pemilu 20 Juli 2017 lalu akan kesal membaca judul artikel ini, atau mungkin juga cuma senyum cengengesan tanpa makna.

UU Pemilu disahkan dan ditetapkan dalam sebuah sidang yang cacat moral karena dipimpin oleh seorang Ketua DPR Setya Novanto yang telah ditetapkan oleh KPK sebagai Tersangka Mega Korupsi Pembuatan EKTP. Tersangka korupsi itu mestinya sudah tidak layak menjadi pejabat negara apalagi menjadi Ketua DPR, lembaga perwakilan rakyat yang seharusnya menjadi simbol kedaulatan rakyat. Miris hati, bahkan ironisnya, gelar tersangka itu ternyata tidak membuat Setya Novanto merasa risih menjabat dan memimpin sidang yang sangat menentukan nasib demokrasi bangsa ini. Alhasil lahirlah Undang-Undang Cacat Logika dari sebuah Sidang yang Cacat Moral.*

Undang-Undang Pemilu yang disahkan tersebut, selain cacat logika, juga cacat hukum karena mengabaikan ruh dan semangat keputusan Mahkamah Konstitusi terkait penetapan Pemilu Serentak Tahun 2013 lalu. Bahkan secara pribadi saya nyatakan UU tersebut masuk kategori sebagai undang-undang yang menyimpang dari Pemahaman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang sesungguhnya. Semangat penetapan undang-undangnya sangat terlihat anti-demokrasi dan anti-Pancasila, karena tidak mengedepankan musyawarah mufakat untuk bangsa tapi menonjolkan dan memaksakan voting atau pemungutan suara untuk mengusung dan menggolkan kepentingan Jokowi yang mewakili pemerintah dan para partai pendukungnya yang ingin melanggengkan kekuasaan dengan kompetisi demokrasi yang tak lagi demokratis. Itulah kelompok politisi yang layak dilabeli politisi kosong jiwa seperti sinyalemen Jokowi. Teriak deras “saya Pancasila” tapi faktanya, perilaku tidak Pancasilais karena menutup ruang musyawarah mufakat.

Mungkin banyak yang bertanya kenapa disebut undang-undang cacat logika. Cacat logika menurut saya sangat pantas disematkan kepada undang-undang tersebut yang memaksakan kehendak Pemerintahan Jokowi menetapkan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden sebesar 20% suara kursi DPR atau 25% suara sah pemilu legislatif.

Mengapa cacat logika? Pertama, bahwa Pemilu 2019 adalah pemilu serentak antara pemilu legislatif dan pemilu presiden. Lantas pemerintah ngotot menggunakan hasil Pemilu 2014 sebagai basis perolehan suara yang mana sudah digunakan untuk Pilpres 2014 lalu. Cacat logikanya mengapa gunakan hasil pemilu masa lalu yang sudah kadaluarsa? Kalau menggunakan pemilu masa lalu, kenapa harus yang 2014? Mengapa bukan Pemilu 2009? Apa dasar hukumnya menjadikan hasil Pemilu 2014 sebagai basis penentuan suara? Itulah cacat logika yang pertama.

Yang kedua, Pemilu Serentak 2019 ini mengikutsertakan partai baru peserta pemilu yang mana mereka belum memiliki suara. Artinya mereka kehilangan kesempatan untuk mencalonkan calon presiden sebagai partai politik. Padahal konstitusi mengatur hak mencalonkan itu adalah hak partai politik sebagaimana diatur dalam pasal 6A UUD 45. Sehingga Undang-Undang Pemilu tersebut menjadi cacat karena menghilangkan hak partai politik. Konstitusi tidak pernah membatasi partai politik mencalonkan calon presiden, maka tidak boleh undang-undang membatasinya.

Yang ketiga, cacat logikanya adalah menentukan syarat 20-25% yang tanpa dasar logis. Hanya berdasar selera-seleraan penguasa. Mengapa bukan 30%? Mengapa bukan 10% atau mengapa bukan 5%? Apa dasar logikanya penetapan 20% tersebut? Sekali lagi itu tanpa logika, makanya saya sebut cacat logika. Jika memahami arti demokrasi, maka sudah seharusnya presidential threshold berada di angka 0% karena itulah yang menjamin hak partai politik dan menjamin hak kedaulatan rakyat untuk dipilih dan memilih.

Yang keempat, cacat logikanya terletak pada undang-undang tersebut tidak mengikuti semangat keputusan Mahkamah Konstitusi tentang pemilu serentak. Pemilu serentak itu artinya semua peserta pemilu punya hak yang sama. Hak mencalonkan calon presiden maupun legislatif tidak boleh berbeda antara satu partai politik dengan yang lain. Basis logika warasnya di dalam konstitusi adalah pasal 6A ayat 2 yang menyatakan calon presiden diusulkan oleh partai politik. Boleh sendirian boleh gabungan partai tanpa bicara batasan ambang batas. Lantas logika cacat dikedepankan pemerintah untuk menafsirkan konstitusi semaunya demi kepentingan kelompoknya.

Itulah mengapa saya menyebut Undang-undang Pemilu ini cacat logika. Istilah cacat logika ini saya dapat dari seorang mahaguru politik, maestro politik nasional yang tak ingin saya sebut nama besar beliau dalam artikel ini.

Namun sangat tepat, tanpa ragu dan sangat meyakinkan bagi saya bahwa pemerintah dan pendukungnya telah melahirkan undang-undang cacat logika, UU yang lahir dari cacat wawasan dan sidang yang cacat moral.

Jakarta, 22 Juli 2017

*)Pimpinan Rumah Amanah Rakyat