Oleh: Ferdinand Hutahaean*)
Usia Pemerintahan Jokowi kini semakin tua dan semakin senja. Tiga tahun sudah terlampaui dan sekarang menyusuri tahun ke-4 pemerintahan yang terpilih sejak Oktober 2014 silam. Namun ironisnya, semakin tua pemerintahan ini, bukan semakin matang dan bukan makin membawa kesejahteraan bagi bangsa dan negara namun semakin hari semakin membawa bangsa ke pinggir jurang krisis dan hampa kedaulatan.
Segudang masalah tak terselesaikan. Malahan justru makin bertambah pesat jumlah masalahnya di 3 tahun pemerintahan. Kemerosotan ekonomi, utang menggunung, defisit anggaran melebar, penerimaan negara tak tercapai, hukum yang tidak berkeadilan, politik yang riuh gaduh, daya beli menurun, fitnah bertebaran, potensi konflik horizontal maupun vertikal di depan mata. Sayangnya semua itu tertutupi oleh riuhnya pemberitaan media yang tidak lagi memberitakan kebenaran faktual, tapi mengabarkan opini dan rekayasa tentang kesuksesan infrastruktur yang entah di mana hasilnya untuk rakyat.
Jika kita kembali sejenak ke masa lalu, era SBY misalnya 10 tahun. Ada banyak masalah bangsa yang menyangkut kehidupan rakyat secara langsung maupun tidak langsung sebagai warisan pemerintahan sebelumnya. Namun SBY sebagai presiden mengambil tanggung jawab itu tanpa menyalahkan para pendahulunya. Tetap bekerja menyelesaikan masalah bangsa tanpa hingar bingar media berlebihan. Faktanya, ekonomi tumbuh pesat, sumber daya manusia dibangun dan subsidi diberikan untuk rakyat agar tidak jatuh miskin.
Pemerintahan SBY memang berutang Rp1000 Trilliun lebih selama 10 tahun. Dan dampaknya adalah, pembangun infrastruktur berjalan, subsidi rakyat diberikan , masyarakat miskin dibantu dengan memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) agar daya belinya terjaga. Artinya utang 10 tahun era SBY tersebut digunakan untuk Infrastruktur dan untuk subsidi rakyat. Semua demi kebaikan kehidupan bangsa dan rakyatnya.
Selain berutang untuk rakyat, sewaktu masa pemerintahannya, SBY ternyata mampu melunasi utang negara di IMF bahkan setelah melunasi utang di IMF, Indonesia kemudian menjadi investor di IMF sebesar USD 2 Milliar. Prestasi besar yang selayaknya patut dibanggakan. Inilah yang berbanding terbalik utang era Presiden Jokowi. Utang entah untuk apa, masalah tak selesai, malah aset BUMN hendak dijual-jualin tanpa melihat pemerintahan sebelumnya susah payah membangun itu semua.
Kembali kepada Pemerintahan Jokowi yang memasuki tahun keempat. Sebagai rakyat tentu kita patut khawatir dan risau akan masa depan bangsa besar yang kita cintai ini. Pemerintah berutang ugal-ugalan dengan cepat, bahkan utang 3 tahun sudah melampaui besar utang Pemerintahan SBY 10 tahun. Tapi entah ke mana sesungguhnya utang itu dialokasikan tidak jelas.
Ironi besarnya adalah, meski sudah berutang ugal-ugalan, ternyata tak cukup dan tak mampu untuk menutupi nafsu semu pemerintah terhadap isu hiperbolik infrastruktur. Utang ugal-ugalan itu kemudian masih ditambah dengan penjualan aset BUMN, swastanisasi aset BUMN dan sederet rencana aksi yang berpotensi melemahkan dan memiskinkan bangsa kelak ke depan. Tidak sekadar memiskinkan, tapi juga akan menghilangkan kedaulatan bangsa dalam mengelola negara.
Entah apa yang ingin dicapai oleh pemerintah ini dengan sederet kebijakannya yang bertumpu pada utang dan menjual aset negara. Setelah berutang ugal-ugalan tak mampu memuaskan ekspektasi pemerintahan Jokowi, maka dilanjutkan dengan penjualan aset dan swastanisasi aset BUMN.
Bandara, pelabuhan, jalan tol dimasukkan dalam daftar jual atau setidaknya di swastanisasikan dengan cara menggadaikan atau dengan cara menyerahkan aset itu dikelola swasta. Inilah jalan menuju kehancuran kedaulatan bangsa.
Cobalah kita berpikir dengan baik, untuk apa bandara, pelabuhan dan jalan tol itu diserahkan ke swasta untuk dikelola? Mengapa aset itu harus diserahkan ke swasta? Mengapa harus dijual? Tak mampukah BUMN kita mengurusnya? Bagaimana dengan nasib karyawannya jika status BUMNnya dihilangkan? Tidak ada jawaban lain yang masuk akal kecuali pemerintah melakukan hal itu untuk sekadar mendapat uang. Istilah pasarnya, dapat uang dari ijon. Untuk apa uang itu? Inilah yang sangat kita pertanyakan. Tidak cukupkah utang ugal-ugalan yang dilakukan pemerintah? Masihkah juga harus menjual aset BUMN secara ugal-ugalan? Masihkan harus melepas aset ke swasta secara ugal-ugalan? Pemerintah telah gagal mengurus negara, pemerintah gagal menjaga penerimaan negara, maka untuk menutupi biaya pemerintahan, dilakukanlah kebijakan pemiskinan bangsa yaitu utang, jual BUMN dan swastanisasi secara ugal-ugalan.
Alangkah baiknya bila pemerintah melalui Presiden Jokowi berhenti sejenak dan melakukan evaluasi terhadap diri sendiri.
Evaluasi tentang infrastruktur yang hanya akan jadi beban bagi rakyat, evaluasi terhadap utang yang terlalu besar, supaya bangsa ini tidak secara sadar diserahkan kepada tangan penjajahan ekonomi dan penjahahan kedaulatan negara. Berhentilah, sejenak introspeksi, karena mengurus negara tidak seperti mengurus pabrik mebel.
Terakhir, jangan lagi menuding pemerintahan masa lalu lebih buruk dari sekarang, karena penerintahan sekarang adalah pemerintahan terburuk dari semua pemerintahan.
Jakarta, 22 November 2017
*)Pimpinan Rumah Amanah Rakyat