Jakarta – Anggota Komisi XI Komisi XI DPR RI Marwan Cik Asan mengingatkan pemerintah agar mewaspadai kemampuan membayar bunga utang dalam APBN 2023. Hingga Januari 2023, posisi utang pemerintah telah mencapai Rp7.754,98 triliun dengan rasio terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 38,56 persen.
‘’Dengan memasukan seluruh rencana kebutuhan pembiayaan APBN tahun 2023 sebesar Rp. 696,4 triliun, maka total utang sampai akhir tahun diperkirakan jadi di atas delapan triliun. Jika ditambah utang BUMN bisa mencapai lebih dari Rp. 15.000 triliun. Ini harus diwaspadai, khususnya terkait kemampuan membayar bunganya,’’ kata Marwan yang juga Sekretaris Fraksi Partai Demokrat itu di gedung DPR Senayan, Jakarta.
Menurut Marwan, utang yang ditarik pemerintah pada 2020 digunakan untuk menanggulangi dampak Covid-19. Pada 2021 dan 2022, juga diproyeksikan untuk memulihkan perekonomian. Bagaimanapun, akumulasi ini menjadi bunga utang yang harus dibayarkan pada tahun-tahun ke depan.
‘’Dengan defisit anggaran yang harus kembali di bawah tiga persen dari PDB pada 2023, pemerintah tidak bisa lagi menarik utang melebihi batas UU Keuangan Negara. Artinya, belanja bunga utang dapat menjadi pembeban belanja pemerintah pada 2023,’’ tegasnya.
Memang, hasil rilis IMF pada bulan Januari lalu menyatakan bahwa kondisi global telah membaik karena tekanan inflasi mulai mereda. Selain itu IMF juga menyatakan bahwa ekonomi dunia masih menghadapi risiko serius, termasuk perang Rusia di Ukraina, potensi gelombang infeksi COVID-19 di masa depan, dan suku bunga tinggi yang menyebabkan krisis di negara-negara yang dibebani dengan utang yang cukup besar.
‘’Dampak perlambatan ekonomi global mungkin saja tidak berdampak signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi kita. Tapi pemerintah tetap harus mewaspadai khususnya dalam pengelolaan dan keberlanjutan utang pemerintah tahun 2023,’’ tambah Marwan.
Tahun 2023 pemerintah mengalokasikan belanja bunga utang sebesar Rp. 441 triliun. Namun dengan kenaikan suku bunga dan perkiraan penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar, belanja tersebut dapat meningkat mencapai Rp. 470 triliun, atau 20 persen dari total belanja pemerintah pusat.
‘’Kalau kita lihat data, rasio pembayaran bunga utang dalam belanja pemerintah pusat tren-nya meningkat terus dalam empat tahun terakhir. Tahun 2023 ini sudah 19,8 persen dari 17,1 di tahun 2020. Sementara belanja modal justru menurun dari 10,4 tahun 2020, menjadi 8,9 tahun 2023. Demikian juga belanja bantuan sosial, turun tren-nya. Kondisi ini yang saya maksudnya harus dicermati dan diwaspadai, karena gerusan ini kan diakibatkan bunga utang,’’ kata legislator asal Lampung itu.
Disisi lain penerimaan pajak sebagai sumber belanja APBN perlu menjadi perhatian pemerintah. Untuk tahun 2022 kinerja sektor perpajakan memang cukup menggembirakan dengan realisasi penerimaan pajak mencapai Rp2.034,5 triliun atau 114% dari target APBN 2022, atau tumbuh 31,4% dari realisasi tahun 2021.
Dengan rasio pajak mencapai 10,4%, meningkat dibandingkan posisi tax ratio 2021 yang sebesar 9,11%. Positifnya kinerja penerimaan pajak tahun 2022 didorong oleh windfall komoditas dan adanya program pengungkapan sukarela (PPS) alias tax amnesty Jilid II. Untuk tahun 2023 windfall komoditas diperkirakan tidak akan terulang kembali sehingga berpotensi tidak akan menjadi pendorong kinerja penerimaan pajak, termasuk program PPS juga tidak akan ada lagi. Ditambah dengan ancaman resesi global 2023 akan turut menurunkan target penerimaan pajak 2023.
Dengan proyeksi menurunnya penerimaan pajak dan peningkatan belanja bunga utang tahun 2023 akan menjadi tantangan bagi pemerintah untuk menjamin keberlangsungan fiskal pemerintah, dengan defisit anggaran yang harus kembali di bawah 3 persen dari PDB. Belanja pemerintah yang berkaitan dengan pendanaan pemilu dan penyelesaian proyek infrastruktur sebelum 2024 akan turut menekan ruang fiskal pemerintah ditahun 2023.
Ditammbahkan Marwan, mencermati kondisi tersebut, pemerintah harus segera menyiapkan mitigasi dan strategi untuk mengantisipasi potensi penurunan penerimaan pajak di tengah ancaman resesi ekonomi global dalam rangka mengamankan konsolidasi fiskal 2023.
‘’Upaya meningkatkan penerimaan perpajakan sangat mendesak, disamping pengendalian dan efisiensi belanja negara. Pembiayaan utang, harus digunakan untuk membiayai belanja yang produktif dan prioritas. Dengan demikian, utang akan memberikan dampak multiplier terhadap pendapatan nasional dan pertumbuhan ekonomi, serta APBN akan menjadi lebih sustainable,’’ tutup Marwan.(YAH)