Tidak dapat dipungkiri memang Partai Demokrat paling tegas terhadap kader yang terkena kasus korupsi. Publik tahu betul soal ketegasan tersebut. Hal ini berbeda dari partai lain yang cenderung mengulur waktu ketika kader atau elit partai mereka tersangkut kasus rasuah yang merugikan dan menarik perhatian banyak pihak.
Tahun 2013 lalu, saat kasus korupsi pembangunan wisma Atlet di Bukit Hambalang Kabupaten Bogor menghangat, nama Ketua Umum DPP Partai Demokrat pada waktu itu, Anas Urbaningrum baru saja diumumkan KPK sebagai tersangka setelah melalui proses pemeriksaan yang panjang. Anas, langsung mengundurkan diri dari Partai Demokrat dan jabatannya sebagai Ketua Umum.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alifian Mallarangeng, pengamat politik yang kemudian menjadi kader partai Demokrat itu juga mengundurkan diri dari jabatannya sebagai menteri di Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II dan juga dari kepengurusan DPP Partai Demokrat. Sikap yang sama juga berlaku pada semua kader PD di semua level kepengurusan pusat dan daerah.
Anas, Andi dan Partai Demokrat adalah contoh nyata sebuah komitmen pemberantasan korupsi. Partai yang didirikan pada tahun 2001 ini memegang teguh sikap yang dituangkan dalam Fakta Integritas saat menduduki posisi dan jabatan penting di publik. Anas menjadi anggota DPR dan menjabat sebagai Ketua Fraksi dan Andi menjadi Menteri. Jika menjadi pesakitan hukum, maka mereka harus mundur.
Hal yang sama nampaknya belum terlihat di partai lain. Meski sudah berkali kali ditersangkakan KPK, namun beberapa elit partai belum bisa “legowo” menerima kenyataan.
Mereka hampir semua berdalih dibalik adanya upaya kriminalisasi yang dilakuka oleh KPK atau lawan lawan politiknya. Sebuah sikap yang jauh dari ksatria. Andi dan Anas serta Demokrat sadar betul, jika tetap berlindung dibalik jabatan politik dan posisi penting di partai, yang akan menjadi sasaran publik bukan hanya mereka semata, akan tetapi juga rumah besar politik mereka; Partai.
Berkaca pada kasus hukum yang terjadi sepekan terakhir ini, rasanya jika perlu kembali mengingatkan para elit politik untuk bersikaplah ksatria. Untuk apa yang terjadi pada Ketua DPR RI Setya Novanto misalnya, selain sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar, Novanto juga adalah Ketua DPR RI. Ia tidak hanya membawa nomor punggung sebagai ketua umum partai politik, namun juga lembaga negara.
Seharusnya, begitu terjadi masalah hukum yang menimpa dirinya, ia menyadari bahwa keriuhan yang menerpa dirinya juga akan berdampak pada lembaga negara yang dipimpinnya. Apa yang akan terjadi pada dirinya, akan mempengaruhi situasi dan kondisi politik nasional dan citra lembaga DPR.
Boleh saja berlindung dibalik azas “Praduga tak Bersalah” atau apalah namanya istilah itu, namun dalam politik juga ada fatsun fatsun yang harus dipatuhi. Fatsun politik itulah yang kini tidak diindahkan. Politisi selalu mencari celah agar tidak diposisikan sebagai pihak yang harus dimundurkan.
Bagaimana mungkin, seorang pejabat publik yang sedang berperkara hukum masih saja berlindung dibalik kalimat “Presumption of Innocence” sementara bergelanggang mata menyaksikan ia tengah berstatus tahanan lembaga penegak hukum. Mau dibawa kemana pikiran ini.
Kita tahu ruang tahanan KPK saat ini dipenuhi oleh para politisi. Sebuah anomali era Reformasi. Tadinya kita berharap, dengan adanya reformasi, tidak akan sebanyak ini pelaku korupsi yang ditangkap oleh aparat penegak hukum. Namun kenyataannya hal itu tidak sama dengan yang kita mimpikan. Menyedihkan.
(Burhanuddin Khusairi/politiktoday)