Jakarta: Wakil Ketua MPR RI Fraksi Partai Demokrat Syarifuddin Hasan mendukung sepenuhnya sikap tegas pemerintah dalam kasus Natuna. Bagi Syarifuddin, kalau menyangkut soal kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak ada istilah kompromi. Tiongkok harus keluar dari teritorial kedaulatan NKRI.

“Saya memberikan penghargaan dan respek atas ketegasan pemerintah kita dalam menjaga kedaulatan NKRI. Saya mengikuti statement Presiden Joko Widodo, dan saya pikir sudah cukup tegas. Statement presiden harus diikuti Menko Polhukum dan Menhan untuk tegas menjaga kedaulatan NKRI,” kata Syarifuddin Hasan dalam keterangan kepada media, di Ruang Kerja Wakil Ketua MPR, Gedung Nusantara III Lantai 7, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (7/1/2020).

Menurut Syarifuddin, langkah yang diperlukan dalam pelanggaran perairan Natuna oleh Tiongkok adalah sikap tegas. Pemerintah Indonesia sudah menunjukkan ketegasan itu. “Kita mengapresiasi karena pemerintah sekarang kompak dan sudah ada instruksi langsung dari Presiden bahwa kita harus tegas dan tidak kompromi. Menko Polhukam juga sudah menyatakan diplomasi bukan berarti negosiasi. Saya pikir sikap pemerintah itu sudah bagus,” kata politisi Partai Demokrat ini.

Syarifuddin mengingatkan tidak perlu khawatir dengan sikap tegas pemerintah Indonesia terhadap Tiongkok akan berimplikasi secara ekonomi. Jika ada implikasi pada ekonomi Indonesia, menurut Syarifuddin, implikasi ini adalah risiko dalam menjaga kedaulatan NKRI. “Tiongkok hanya investor nomor 3 di Indonesia. Tiongkok pasti membutuhkan Indonesia. Jadi tidak usah khawatir tentang implikasi ekonomi. Karena itu kita harus betul-betul tegas dan tidak ada negosiasi. Kita hanya menginginkan Tiongkok mentaati Unclos (Unitied Nations Convention on the Law of the Sea/konvensi PBB tentang Hukum Laut) yang sudah diratifikasi bersama,” katanya.

Pemerintah, lanjut Syarifuddin, bisa melakukan langkah apa pun termasuk meninjau kembali investasi Tiongkok di Indonesia. Namun langkah itu bisa diambil setelah melihat respon dari pemerintah Tiongkok. “Kalau Tiongkok masih tetap pada pendiriannya yang tidak menghargai kedaulatan NKRI, tidak menghargai kesepakatan Unclos, kita bisa mengambil langkah apapun meski berimplikasi pada ekonomi. Saya pikir bisa saja kita meninjau investasi Tiongkok di Indonesia kalau memang Tiongkok tidak ada respon. Perlu tindakan yang betul-betul tegas dari pemerintah kita. Ini juga menjadi pelajaran untuk Tiongkok,” tegasnya. 

Syarifuddin mengungkapkan kasus Natuna ini mengingatkan pada kasus Ambalat tahun 2005 – 2006. Pada saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhyono mengambil sikap tegas dan tidak ada kompromi. Bahkan Presiden SBY sempat berada di kapal perang di perairan Ambalat. “Sikap tegas SBY berhasil. Malaysia merespon dengan menyelesaikan kasus ambalat melalui saluran diplomatik,” ujarnya.

Begitu pun dengan kasus Natuna ini. Tiongkok harus merespon sikap tegas pemerintah Indonesia. “Kita juga ingin supaya menyelesaikan melalui saluran diplomatik. “Kita serahkan kepada Menteri Luar Negeri. Tapi sengketa perairan internasional memang diatur Mahkamah Internasional. Memang perlu dibuka saluran diplomasi ke Mahkamah Internasional sebagai penjajakan. Di laut China Selatan, Tiongkok memang menjadi persoalan di antara negara-negara yang terlibat seperti Vietnam, Malaysia, dan sekarang Indonesia,” ujarnya.(rilis/iwan/omar)