Oleh: Rafael Wildan
Di tengah peralihan kekuasaan di Ibu Kota, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) kembali mencuri perhatian publik. Mantan kandidat gubernur yang pernah diremehkan lawan politik itu, mengajarkan masyarakat arti berdemokrasi yang sebenarnya.
Ia hadir di Istana Merdeka untuk memberi selamat secara langsung kepada saingannya yang menang di pilkada, lalu esoknya ia berkunjung ke penjara menjenguk saingan yang lain untuk memberikan dukungan moral. Baginya, meski pernah bersaing dalam kontestasi politik, bukan berarti mereka harus bermusuhan. Sebuah kedewasaan berpolitik lagi-lagi diperlihatkan oleh seorang “tentara ingusan”.
Pilkada DKI Jakarta memang telah usai. Anies Baswedan-Sandiaga Uno keluar sebagai pemenang dan baru saja dilantik untuk masa jabatan lima tahun ke depan. Namun begitu, rakyat ibu kota masih terbelah.
Mereka masih memperlihatkan kebencian satu sama lain. Kelompok yang menang menertawakan kelompok yang kalah, sementara mereka yang kalah juga masih belum bisa menerima kekalahan. Bahkan pidato gubernur terpilih baru-baru ini dijadikan perdebatan dan bahan untuk caci-makian antara mereka.
Padahal, jika bicara dendam, mungkin yang paling berhak mendendam akibat persaingan politik yang keras selama ini adalah AHY. Bagaimana tidak? Harga dirinya dilecehkan oleh akademisi penjilat pemerintah karena disebut sebagai “tentara ingusan”. Lalu anaknya yang masih kecil dibully di media sosial, dan keluarganya difitnah terlibat korupsi, bahkan oleh akun resmi sebuah partai politik. Kemudian, rumah kedua orangtuanya digeruduk mahasiswa yang ditunggangi aktor-aktor politik penguasa.
Tetapi ia tidak menyimpan sakit hati. Begitu dinyatakan kalah, ia langsung memberi ucapan selamat kepada pesaingnya. Dulu saat bersaing, ia tidak pernah menyerang lawan politik, apalagi setelah kontestasi berakhir. Hubungan baik tetap ia jaga. Buktinya, di pelantikan Anies-Sandi, ia hadir. Sementara gubernur lama, Djarot Syaiful, yang juga kalah dalam pilkada, malah ngacir. Seorang politikus yang telah lama malang melintang di dunia perpolitikan, ternyata berjiwa kerdil.
Berbeda jauh dengan AHY. Ia tak hanya membangun hubungan baik dengan pemenang pilkada, namun juga menjalin komunikasi dengan rival yang kalah. Bagaimanapun, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pernah menjadi gubernur yang berkarya dan berjasa terhadap pembangunan ibu kota. AHY mengajak semua pihak mengapresiasinya. Kesalahan yang dilakukannya, menistakan ayat kitab suci agama Islam, telah ia tebus dengan hukuman mendekam dua tahun di penjara.
Sikap putra sulung Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini diapresiasi banyak pihak. Mereka sepakat, kehadirannya di Istana, lalu esoknya tiba-tiba sudah berkunjung ke penjara, adalah bukti dari jiwa besar AHY. Pemimpin sejati memang harus bisa merangkul semua golongan. Sebab kontestasi politik tidak hanya untuk mencari siapa menang siapa kalah, tetapi untuk memilih pemimpin yang bisa membawa perubahan bagi negeri ini ke arah yang lebih baik.
Saat kontestasi usai, saat itulah persaingan berakhir. Semua pertikaian yang ada selama ini hendaknya bisa mereda. Bagaimana bisa membangun Jakarta jika warganya masih belum bisa move on menerima kenyataan. Ini akibatnya jika pemimpin terus saja mempertontonkan sikap buruk kepada rakyatnya. Kalah dalam perebutan kekuasaan, mereka dendam tujuh turunan. Tidak calon wakil gubernur, tidak calon presiden, kelakuannya sama saja.
Gubernur terpilih harusnya bisa merangkul semua warga, jangan biarkan mereka terus terbelah. Berkacalah kepada pemerintah di negeri ini, yang gagal mengayomi seluruh rakyat, sehingga perpecahan yang dulu muncul saat pemilu, tetap ada hingga saat ini, bahkan sudah berubah menjadi bibit-bibit kebencian. Lama kelamaan, bangsa ini bisa-bisa hancur karena digerogoti oleh permusuhan antar sesama. Ini hendaknya yang mesti dihentikan.
AHY telah memulai sebuah langkah. Pembangunan negeri ini harus dengan jiwa besar, tidak boleh ada sedikitpun dendam dan sakit hati. Kita bersama harus mengikuti. Rakyat di negara ini pernah bersatu, bergandengan tangan, bersama-sama menumpas penjajahan. Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Sudah saatnya kita kembali mengesampingkan segala perbedaan, untuk menatap masa depan bangsa yang lebih baik.
(politiktoday/dik)