Suasana Rapat Paripurna RUU Penyelenggaraan Pemilu di Gedung MPR/ DPR Senayan, Jakarta (20/07/2017). (Tim Media FPD)

Jakarta: Fraksi Partai Demokrat (FPD) menolak ketentuan ambang batas 20/ 25 persen untuk pemilihan presiden dan wakil presiden (presidential threshold).  Sementara ambang batas parlemen (parlementary treshold) yang rasional demi penguatan sistem kepartaian adalah sebesar 4 persen.

Hal ini disampaikan FPD pada Rapat Paripurna di Gedung MPR/ DPR Senayan, Jakarta (20/07/2017) melalui Benny K Harman, anggota FPD yang juga Wakil Ketua Komisi III DPR RI. Menurut FPD, ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) 20/25 persen tidak sesuai hukum, dan tidak masuk akal.

Pengertian bahwa yang berhak mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden adalah partai politik peserta Pemilu atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh 20% (dua puluh persen) kursi di DPR RI atau 25% (dua puluh lima persen) perolehan suara sah dalam Pemilu 2014 lalu, menunjukkan betapa logika ini tidak bisa diterima. Karena hasil Pemilu Legislatif pada 2014 itu telah dipergunakan untuk mencalonkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pilpres 2014, dimana terpilih Joko Widodo sebagai Presiden dan M Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden. Dan masuk akal, karena Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dalam Pemilu 2014 tidak serentak.

Ketentuan demikian juga tidak sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden pada 2019 diadakan serentak. Karena diadakan serentak, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi maka seharusnya setiap Partai Politik peserta Pemilu 2019 memiliki hak yang sama untuk mengajukan Calon Presiden dan Wakil Presidennya. Dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, semua Partai Politik peserta Pemilu mempunyai kedudukan, hak dan kewajibannya yang sama di depan hukum.

Dalam konteks ini, ketentuan presidential threshold bersifat diskriminatif dan membeda-bedakan status serta kedudukan setiap parpol peserta pemilu khususnya berkaitan dengan hak mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden. Sementara itu, parpol peserta Pemilu 2019 bukan hanya peserta dari Pemilu 2014, melainkan juga parpol baru. Maka hasil Pemilu Legislatif 2014 yang digunakan sebagai rujukan untuk Pemilu Presiden 2019 sangat jelas akan membatasi hak parpol yang pada 2019 baru menjadi peserta Pemilu. Lebih dari pada itu, ketentuan tersebut amat jelas sekali telah merugikan hak konstitusional Partai Politik peserta Pemilu 2019 untuk mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden.

Pandangan Fraksi Partai Demokrat DPR-RI terhadap RUU Penyelenggaraan Pemilu disampaikan oleh Dr Benny K Harman di Gedung MPR/ DPR Senayan, Jakarta (20/07/2017). (Tim Media FPD)

Dikatakan, adanya ketentuan yang mensyaratkan hanya parpol  peserta Pemilu yang memperoleh dukungan 20% (dua puluh persen) kursi di DPR RI atau 25% (dua puluh lima persen) perolehan suara sah dalam Pemilu 2014 sangat jelas terkandung maksud atau niat untuk membatasi dan menutup peluang bagi munculnya figur-figur alternatif dalam kontestasi Pemilu Presiden pada tahun 2019 yang akan datang. Pilihan rakyat dibatasi sehingga rakyat yang berdaulat menjadi apatis dalam Pemilu.

Fraksi Partai Demokrat juga berpandangan bahwa RUU Penyelenggaraan Pemilu sejatinya harus mendorong munculnya calon-calon pemimpin alternatif agar persaingan dalam demokrasi elektoral semakin meningkat dan semakin baik termasuk partisipasi dan kualitasnya. Demokrasi yang mempersempit pilihan rakyat apalagi untuk menutup terjadinya persaingan sehat dalam Pemilu jelas akan gagal menghasilkan pemimpin yang berkualitas dengan dasar legitimasi yang kuat dari rakyat. Ingat! Dalam kehidupan demokrasi, rakyatlah yang berdaulat, rakyatlah yang memilih pemimpinnya, dan bukan partai partai politik,

‘’Sesuai dengan konstitusi kita, siklus kepemimpinan nasional berlangsung 5 (lima) tahunan baik untuk memilih anggota legislatif maupun presiden dan wakil presiden. Apabila hasil Pemilu Legislatif 2014 dipergunakan kembali dalam penentuan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) 2019, maka siklus penggantian kepemimpinan nasional kita bukan 5 (lima) tahunan tetapi 10 (sepuluh) tahunan. Sangat mungkin hasil Pemilu Legislatif 2019, hasilnya akan berbeda jauh dengan hasil Pemilu Legislatif 2014. Siapa yang dapat menjamin hasil Pemilu Legislatif 2014 akan sama dengan Pemilu Legislatif 2019, sehingga hasil Pemilu Legislatif 2014 dijadikan rujukan sebagai Ambang Batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (Presidential Threshold) pada Pemilu Presiden 2019,’’ kata Benny K Harman.

Selain itu, FPD berpandangan bahwa hukum Pemilu yang didesain sekarang hendaknya mampu mendorong terjadinya penguatan sistem presidensiil dimana Presiden tidak disandera oleh Partai Politik pendukungnya sehingga menyulitkan Presiden memenuhi janji-janji politiknya dalam kampanye. Putusan Mahkamah Konstitusi yang secara expresis verbis memerintahkan pelaksanaan Pemilu Legislatif harus serentak dengan Pemilu Presiden pada intinya dimaksudkan untuk memperkuat presiden dalam sistem presidensiil multipartai tanpa tersandera oleh kepentingan Partai Politik pendukungnya. Bukankah itu kehendak rakyat dan perintah konstitusi kita?

Akhirnya, FPD menegaskan bahwa ketentuan yang menggunakan Hasil Pemilu Legislatif 2014 sebagai syarat untuk Partai Politik atau gabungan Partai Politik dalam mengajukan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden pada Pemilu 2019 merupakan kontradiksi (contradictio in terminis) dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang intinya Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden secara mandatori harus diadakan serentak. Itu terkandung maksud tidak ada lagi ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) dalam Pemilu Presiden 2019 karena Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden tersebut akan dilaksanakan serentak.

Atas dasar itulah,  FPD memandang ketentuan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (Presidential Threshold) dalam Pemilu Presiden 2019 dengan menggunakan hasil Pileg 2014 yang lalu adalah sebuah kekeliruan atau kesesatan cara pikir juridis yang harus segera kita luruskan sebelum bangsa dan negara ini jatuh ke dalam kondisi yang disebut dengan constitutional fallacy.

(Tim Media FPD DPR)