M Husni Thamrin (dokpri)

Surat dari Kaltim (1)

Oleh: M. Husni Thamrin*)

Beberapa hari yang lalu saya menulis di Twitter, betapa tidak menariknya pemilihan presiden kali ini, Pemilihan Presiden 2019.

Kebosanan terhadap proses Pemilihan Presiden 2019 ini pertama-tama adalah persyaratan mengajukan calon presiden yang harus memenuhi 20 persen parliamentary threshold. Menjadi tidak menarik karena satu partai harus memiliki 20 persen suara parlemen untuk dapat memajukan seorang calon presiden atau bersama dengan partai lain membentuk koalisi dan memiliki minimal 20 persen parliamentary threshold.

Lebih lucu dan tidak menarik adalah suara yang dihitung untuk parliamentary threshold tersebut adalah perolehan suara yang didapat pada Pemilihan Legislatif 2014. Padahal perolehan suara tersebut sudah dihitung dan dijadikan sebagai patokan threshold bagi Pemilihan Presiden 2014. Berbeda dengan Pemilihan Presiden 2019 yang serentak dengan Pemilihan Legislatif 2019, pada Pemilihan Presiden 2014, itu dilakukan sesudah pemilihan legislatif dan partai sudah mendapat perhitungan suara mereka untuk dipakai dalam pilpres. Di tahun 2019 karena dilakukan serentak, partai belum memiliki perhitungan prosentasi suara untuk dipakai sebagai threshold pemilihan presiden. Maka dipakailah hasil Pemilu 2014. Padahal mengikuti logika yang sehat, threshold partai 2014 untuk pemilihan presiden seharusnya sudah dianggap habis terpakai pada Pilpres 2014. Pemilihan presiden yang pertama kali diadakan berbarengan dengan pemilihan legislatif menimbulkan kerancuan pemahaman dan pengambilan keputusan yang keliru. Jika ingin tetap dilakukan berbarengan, threshold untuk pemilihan presiden seharusnya nol persen (0%).

Harus diakui Pilpres yang berbarengan dengan pemilihan legislatif pun membuat pemilihan legislatif ikut menjadi panjang waktunya. Mau tidak mau, hal tersebut membuat pilihan partai politik mendua, kosentrasi partai terpecah, berpikir keras untuk menempatkan prioritas utama, antara memenangkan pemilihan presiden atau partai lolos threshold 4 persen (4%) dan dapat kembali ikut Pemilihan Presiden 2024 dan memajukan kader partai sendiri sebagai calon presiden.

Lambat laun partai-partai lain dalam koalisi berpikir, dari analisis dan konsekuensi yang muncul, kampanye pemilihan presiden dan pemilihan legislatif yang bersamaan tersebut akan lebih menguntungkan partai yang memiliki calon presiden.Kegalauan tersebut menimpa semua partai politik, kegalauan terhadap efek ekor jas. Coattail effect. Menang atau tidak Prabowo dalam pememilihan presiden, diperkirakan Gerinda akan memperoleh sekitar 15 persen (15%) sebagai partai politik. Naik signifikan dari perolehan tahun 2014 yang sekitar 11,83 persen. Demikian pula yang terjadi terhadap PDIP.

Sementara partai politik yang lain, risiko yang besar menanti, jika menang dalam pemilihan presiden menjadi sebuah perolehan yang baik, terlebih jika ditambah dengan perolehan suara partai yang signifikan. Bisa terjadi menang dalam Pilpres tapi melorot dalam perolehan suara partai. Atau yang sangat sial adalah kalah dalam Pilpres, melorot dalam Pileg atau bahkan tidak lolos dalam threshold. Suara perolehan Pilpres 2019 berbeda dengan suara perolehan Pileg 2019, meski serentak diadakan.

Kampanye Pilpres menjadi membosankan, karena isu yang berkembang dan dibicarakan tidak sama dengan isu yang ingin disampaikan partai politik untuk meraih perolehan suara untuk partai. Hampir tak ada kreatifitas dan dinamika capres-cawapres yang bersaing, berbicara tentang program, kesulitan rakyat dan solusi yang menjadi jalan keluarnya. Paling tidak ini tercermin dari beberapa hal yang disampaikan oleh kedua timses capres.

Kedua timses capres-cawapres asyik menari di atas tabuhan gendang yang dimainkan kedua tim, satu sama lain. Asyik berdebat soal sontoloyo, bahaya Suriah, genderuwo, Perda Syariah, tentang kebutaan atau budeg, dan lain lain debat isu yang sama sekali tak ada manfaatnya bagi rakyat. Sebuah partai yang mengklaim partai anak muda, millenials, bahkan lebih asyik bicara tentang Perda Syariah dibandingkan soal lingkungan, perubahan iklim atau jobs creation misalnya.

Yang kedua, tim lupa, kondisi ekonomi sekarang, pertumbuhan ekonomi yang stagnan, angka pertumbuhan penduduk dan pencari kerja yang bertambah, rakyat mendambakan tawaran program, pembahasan kondisi ekonomi nasional Indonesia dan apa yang menjadi solusinya.

Tim pemenangan capres-cawapres seharusnya fokus pada isu kampanye yang menjadi pokok persoalan rakyat. Soal ekonomi rakyat, menciptakan lapangan kerja dan wujud dari masyarakat adil dan makmur, bukan tentang capres tersebut lulusan pesantren atau sekolah tinggi.

Berbagai isu yang muncul seperti pembakaran bendera di Garut, capres yang mencoba motor rakitan baru, mobil Esemka yang akan meluncur, isu Boyolali, isu-isu lain terkait agama maupun moral, tidak boleh menjadi isu pengalih dari isu isu ekonomi dan kesusahan ekonomi yang dialami oleh rakyat. Jangan menjadi pengecoh dari ketidakmampuan salah satu capres-cawapres untuk menjawabnya.

Rakyat tak boleh dialihkan dari isu-isu penting terkait nasib mereka, atau yang mereka nantikan untuk dapat terselesaikan. Selain isu ekonomi makro, lapangan pekerjaan, harga sembako yang naik, tarif listrik yang naik, guru-guru honorer yang tak kunjung diangkat, nelayan yang sulit melaut karena bahan bakar yang sulit atau mahal, kasus e-KTP yang belum selesai, kasus BLBI, kasus korupsi PLTU, isu IMF-Bank Dunia, isu pesawat jatuh, isu korban gempa Lombok dan Donggala, Palu adalah isu-isu yang dinanti rakyat penyelesaiannya.

14 November 2018

*)Caleg DPR RI dari PD No. Urut 4, Dapil Kalimantan Timur
Ketua Departemen Lingkungan Hidup fab Perubahan Iklim DPP Partai Demokrat