M.A. Hailuki, MSi (dokpri)

Oleh: M.A. Hailuki, MSi*)

Jika tidak mau dikatakan sebagai keserampangan, maka selama hampir lima tahun kita telah dipertontonkan oleh pemerintah sebuah pagelaran ketidakselarasan. Yaitu ketidakselarasan dalam pembuatan kebijakan antara kepala pemerintahan dengan sang wakilnya, antara Presiden Jokowi dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Mari kita kembali ke beberapa tahun silam, tepatnya 2015, ketika itu JK mengkritik langkah Jokowi yang memberi ruang terlalu luas kepada Luhut Panjaitan dalam berbagai kapasitasnya. Kejadian ini bermula ketika Jokowi atas masukan segelintir pihak mengubah Unit Staf Kepresidenan menjadi Kepala Staf Kepresidenan melalui penerbitan Perpres Nomor 26 Tahun 2015.

Luhut sebagai Kepala Staf Kepresidenan diberikan kewenangan lebih dalam pengendalian program-program prioritas nasional. Menurut JK perluasan kewenangan itu bisa menyebabkan kesimpangsiuran dalam koordinasi pemerintahan.

“Berlebihan nanti, kalau berlebihan bisa simpang siur. Kita harus bicara efek dan akibatnya, jangan menjadi kesimpangsiuran di pemerintahan,” ujarnya. (Republika, 5 Maret 2015).

Apa yang JK kemukakan bukan  tanpa alasan, sebagai orang yang berpengalaman menjadi menteri sejak 1999, kemudian menjadi wapres selama dua periode, sudah barang tentu beliau mampu menerka langkah Jokowi tersebut tidak tepat. Belakangan kita melihat sendiri, koordinasi menjadi titik lemah dari pemerintahan ini.  Terkait perluasan kewenangan Luhut tersebut membuahkan julukan menteri segala urusan.

Perbedaan pandangan Jokowi dan JK kembali menyeruak pada 2017 menyangkut persoalan divestasi Freeport. Baginya langkah menasionalisasi Freeport bukanlah suatu yang strategis, bahkan menurut mantan ketua umum Partai Golkar ini pemerintah seolah tergesa-gesa.

“Seperti Freeport, tidak perlu tergesa-gesa kita minta divestasi contohnya. Mereka sudah menanam modal di Indonesia dan mereka bayar pajak dan memajukan ekonomi Papua sehingga kita tak perlu tergesa-gesa untuk minta divestasi tahun ini, tahun depan. Orang kan berpikir investasi jangka panjang juga, seperti itu,” ujarnya, (Kumparan, 13 Oktober 2017).

Seolah JK ingin ‘menegur’ Jokowi dan para pembisiknya yang sedang gandrung ingin menunjukkan semangat nasionalisme dalam wadah yang salah. Menurut JK, nasionalisasi Freeport dapat berdampak buruk bagi perekonomian nasional. Sebagaimana pengalaman Indonesia di masa lalu, nasionalisasi perusahan asing tidak serta merta membawa dampak positif bagi perekonomian nasional.

“Jangan nanti kita berpikir seperti Venezuela. Venezuela berpikir, divestasi, nasionaliasi, ini hancurlah Venezuela pada dewasa ini karena dunia. (Kita) tidak bisa lagi berpikir jangka pendek, harus jangka panjang,” tegas JK.

Kalau kita menilik sejarah, apa yang disampaikan JK ada benarnya, dan itu sejalan dengan pandangan Bung Hatta saat tak sependapat dengan langkah Bung Karno menasionalisasi semua perusahaan asing. Dan benar terbukti, kebijakan itu tak menolong Indonesia dari krisis ekonomi. Justru Orde Lama runtuh setelah Bung Karno berkuasa penuh.

Kembali ke persoalan divestasi Freeport, klaim keberhasilan pemerintah berhasil membeli 51% saham perusahaan tambang milik Amerika Serikat itu bukannya membuat harum justru menuai berbagai cibiran. Tambang emas punya kita sendiri kenapa harus dibeli? Begitu kata banyak orang awam yang heran.

Nah, sekarang JK kembali bersuara lantang. Berbagai proyek infrastruktur yang tengah digencarkan pemerintah semisal proyek Light Rail Transit (LRT) di Sumatera dan Jabodetabek, pembangunan jalur kereta Trans Sulawesi, dan pembangunan jalan tol di beberapa daerah dinilainya tidak efektif.

Kritik JK telah menjawab kekuatiran banyak pihak, bahwa proyek infrastruktur yang dikebut di era Jokowi terkesan –maaf- serampangan.  Selain hitungan biaya terlalu mahal, juga tentu suatu pekerjaan digesa-gesa bisa berdampak pada kualitas pembangunannya. “Pembangunan infrastruktur itu bukan sekadar bikin sesuatu, tetapi manfaat dan studinya juga harus baik,” (Katadata, 22 Januari 2019).

Sudah sepantasnya suara JK didengar. Seperti kita ingat, JK pernah menjadi pendamping SBY pada periode 2004-2009. Selama menjadi wapres, JK tidak hanya difungsikan sebagai ‘ban serep’. Justru pada masa itu SBY memberikan ruang kewenangan yang tepat kepada JK sebagai wapres.

“Saya beri wewenang dan tugas-tugas tertentu. Setiap pengambilan keputusan, utamanya yang amat penting dan menentukan, pada prinsipnya wakil presiden ada di dalamnya.” (SBY: Selalu Ada Pilihan, 2014).

Meminjam bahasa Fadjoel Rahman yang dulu kerap sinis kepada SBY, bahwa pemerintah tak boleh ‘ugal-ugalan’ dalam melangkah, maka dengan kritik-kritik JK ini kita bisa bertanya, jadi sebenarnya siapa yang ugal-ugalan?

*)Penulis adalah kader muda Partai Demokrat dan Tenaga Ahli DPR-RI